Minggu, 01 Mei 2016

REFLEKSI HARI BURUH INTERNASIONAL

REFLEKSI HARI BURUH INTERNASIONAL 
(PR BESAR NEGERI INDONESIA)


Satu Mei apa yang terlintas di benak kita tentang tanggal ini? Yup, tanggal merah kita sebagian karyawan bisa libur menikmati indahnya hari. Eits, tahun ini, tanggal merahnya jatuh di hari Minggu, sayang banget. Jadi kan kita gak bisa liburan da emang udah waktunya libur meren hari Minggu mah.

Tanggal satu Mei ini kita peringati sebagai hari buruh Internasional. Lantas, apa yang ada di benak kita tentang buruh? Jujur saja aku adalah seorang frehgraduate sarjana yang sedang magang di perusahaan fashion yang masih berbentuk CV. Ngomong-ngomong soal buruh dan tuntutannya, ada hal yang menjadi unek-unek diriku tentang kata buruh. Dengan tanda kutip seorang sarjana seperti ku juga kini menjadi seorang buruh alias pekerja, meskipun sedang magang.

Karena alasan magang itulah, aku seperti tidak diberikan penghargaan selayaknya seorang freshgraduate lulusan sarjana salah satu Universitas Negeri di Bandung. Setelah aku selidiki ternyata tidak hanya aku saja yang merasakan hal yang sama, tapi teman kerjaku yang lain juga bertutur seperti itu. Meskipun memang mereka bukan berasal dari lulusan sarjana seperti ku. Tapi setidaknya mereka pun harus diberikan penhargaan yang sama seperti ku meskipun dari ukuran gaji kita sangat berbeda.

Ada beberapa hal yang aku garis bawahi tentang PR besar para pengusaha Indonesia (terlepas itu PT, CV ataupun bentuk usaha lain). Pertama jam kerja, saat ini aku bekerja di 6 hari kerja dari jam 07.30 hingga 16.30, jika dihitung-hitung berarti ada 9 jam dengan satu jam waktu ISOMA. Hal ini telah melanggarUU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 77-85. Karena di dalamnya tertuang bahwa jika enam hari kerja maka jumlah kerja per harinya adalah 7 jam/hari atau sama dengan 40 jam kerja/minggu. Jikalau melebihi itu, maka sisanya akan dihitung ke dalam lembur. 

Kedua untuk hal lembur tertuang dalam PERMEN No. 102/MEN/IV/2004 dengan peraturan bahwa lembur paling banyak 3 jam.hari atau sama dengan 14 jam/minggu, itupun harus di luar istirahat mingguan/hari libur resmi. Upah lemburan pun dibayar dengan 1/173 upah sebuln dengan Peraturan Kepmenakertrans No. 102/MEN/IV?2004. Di tempat kerjaku kini, upah lembur kadang tidak sesuai dengan keadaan real nya. Padahal mereka sudah menghitung tapi jumlahnya tidak sesuai dengan apa yang mereka ukur.

Ketiga adalah upah minimun regional/provinsi tahun 2016, untuk Jawa Barat khususnya Bandung adalah dikisaran Rp 2.250.000,-. Memang aku udah berada di atas itu gajinya, kalau ditambahkan dengan biaya lembur, transportasi dan makan. Ini kan seharusnya tidak bisa begitu? Kita lupakan dulu masalah gajiku yang upahnya tidak sesuai dengan UMR/UMP. Aku melihat karyawan yang berada di bawahku lebih parah dariku, ada yang gajinya Rp 400.000,- per dua minggu, cukup apa uang segitu untuk kebutuhan hidup? Memang sih, kerjaan dia tidak sekeras aku menggunakan kekuatan pikiranku, tapi kerjaan dia manggul sana manggul sini dengan kualifikasi pendidikan terakhirnya adalah SMA. Itu kan ga sepadan?


Mereka hanya bisa mengeluh, dan membuat produktivitas kerja mereka menurun. Tanpa melakukan hal konkrit lain yang bisa memperbaiki masalah mereka. Sekian keluh kesah ini yang seharusnya menjadi PR besar bangsa Indonesia dalam memperbaiki dan memberdayakan para buruh dan pekerja, tidak hanya pemerintah, tapi seharusnya para pengusaha pun memperhatikan hal ini karena erat kaitannya dengan produktivitas kerja.

Rabu, 11 Maret 2015

Empat Macam Anak Menurut Pandangan Islam


1.      Ziinatun (hiasan) terdapat dalam QS Al-Kahfi (18):46
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi artinya perhiasan yaitu dengannya dunia menjadi indah
2.      Qurrota’yun (penyejuk hati) terdapat dalam QS Al-Furqan (25) ayat 74 yang merupakan doa yang banyak dipanjatkan oleh para insan yang belum menikah
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, penyejuk hati didefinisikan sebagai hal yang menyejukkan pandangan mata karena mereka mempelajari huda (tuntunan Allah) lalu mengamalkannya dengan mengharapkan ridlo Allah
3.      ‘Aduwwanlakum (musuh bagi orang tua) terdapat dalam QS Ath-Thaghabun (64): 14
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi hal tersebut didefinisikan sebagai melalaikan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah atau senantiasa menentangmu dalam urusan dien dan akhirat
4.      Fitnah terdapat dalam QS Ath-Thaghabun (64):15
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mendefinisikan bahwa sebagai ujian yang dapat memalingkan dari ketaatan/terjerumus dalam perbuatan maksiat. Misalnya, banyak orang tua karena membiayai kebutuhan hidup anaknya terjerumus kepada kurangnya bertaqarrab kepada Allah
Dua cara memandang anak yaitu sebagai berikut:
1.      Anak sebagai modal
a.       Anak dijadikan sebagai teladan;
b.      Anak dijadikan sarana untuk menjalin kebersamaan; dan
c.       Anak dijadikan sarana untuk menjalin kasih sayang.
2.      Anak sebagai beban
a.       Dengan hadirnya anak membuat kita menjadi tidak peduli;
b.      Dengan hadirnya anak membuat kita individualis; dan
c.       Dengan adanya anak orang tua lebih emosi.

Senin, 19 Mei 2014

contoh karya tulis ilmiah


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini ekonomi syariah semakin menunjukkan eksistensinya, mulai dari perlembagaan keuangan syariah, institusi pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi pun berbondong-bondong membuka prodi baru dengan titel ekonomi islamnya. Bahkan semakin lumrah jika akhir-akhir ini konsep ekonomi syariah sudah banyak yang dipraktekan di lembaga pendidikan sekelas pesantren, yaitu melalui kegiatan wirausaha berbasis syariah bagi para santrinya.
Namun masih sangat disayangkan, yang sering kali luput dari perhatian mayoritas kita adalah kenyataan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang sulit mendapatkan akses pendidikan. Jangankan untuk mendapatkan akses pendidikan kewirausahaan dan pembinaan keterampilan lainnya, untuk akses pendidikan formal pun masih terengah. Mereka adalah kelompok masyarakat tunadaya, kelompok rentan penyandang masalah sosial yang memiliki keterbatasan secara ekonomi, yang pada akhirnya demi menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan kemudian menjadikan panti asuhan sebagai lembaga yang dipercaya oleh keluarga untuk mendidik putra-putri mereka, meskipun hal ini sedikit menantang konsep dasar peruntukan dari pembentukan panti asuhan itu sendiri yang semestinya menampung anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua sama sekali (yatim piatu).
 Praktek ini sudah berlangsung sedemikian lama sehingga sangat wajar jika berdasarkan penelitian DINSOS RI dan asosiasi bernama Save The Children Indonesia, jumlah panti asuhan di Indonesia mencapai lebih dari 8000, dengan catatan bahwa jumlah ini yang terdaftar di lembaga sosial, data sebenarnya bisa mencapai 15.000 panti asuhan dengan jumlah anak-anak binaan lebih dari 50.000 orang yang dengan angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah panti asuhan terbanyak di dunia.
Sebuah ironi, meski UUD 1945 dengan jelas menegaskan bahwa hak memperoleh pendidikan yang layak dapat dinikmati setiap masyarakat tanpa kecuali, dalam pasal 27 dan 34 UUD 1945 pun ditegakan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap pembangunan kesejahteraan sosial, namun kenyataan berkata sebaliknya. Kerangka perekonomian negeri ini secara analogi sejatinya membentuk piramida dengan komposisi rakyat miskin masih mendominasi di lini bawah. Ekonomi syariah dengan sifat dasar yang universal nyatanya belum mampu menyentuh kelompok masyarakat rendah, termasuk kelompok tunadaya yang tersebar di panti asuhan yang selama ini memang sering luput dari perhatian para penggagas ekonomi islam sebagaimana diakui oleh Syafii Antoio, salah satu pakar ekonomi islam Indonesia. Maka seyogyanya haluan penyediaan akses sosialisasi dan pendidikan ekonomi islam lebih diperluas, tidak hanya berkutat di lembaga keuangan serta lembaga pendidikan formal saja.
Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas tidak dapat terlayani dengan baik. Banyak asumi bahkan mengatakan jika para  penyandang masalah sosial tersebut tidak terlayani dengan baik, maka makna kemerdekaan bagi mereka hanya sekedar lepas dari penjajahan, padahal seharunya kemerdekaan mengandung arti terlepas pula dari keterbelakangan dan kemiskinan.
Lembaga Pelatihan Keterampilan (LPK) yang berfokus pada pendidikan ekonomi islam sudah banyak berdiri di Indonesia, sebut saja Muamalat Institute, LPK Tazkia namun kembali perlu ditegaskan bahwa keberadaan LPK tersebut belum mampu menjangkau kelompok masyarakat tunadaya. Tetap ada cost yang perlu dibayarkan, hal ini menjadi beban tersendiri yang pada akhirnya tetap menghambat proses ketersediaan akses bagi kelompok masyarkat tunadaya terebut.
Menyinggung kembali mengenai kelompok masyakat tunadaya, dalam hal ini mereka yang tinggal di panti asuhan, hasil penlitian DINSOS RI secara mengejutkan membenarkan keterlibatan organisasi keagamaan dalam pengelolaan panti asuhan mencapai lebih dari 99% dan 1% lainnya dikelola oleh pemerintah. sebagai sampel, salah satu panti asuhan  yang penyusun teliti yaitu panti asuhan Kuncup Harapan, beralamat di Jl. Garunggung Kulon 179, Sukajadi ini berdiri atas prakarsa para pengurus Muhammadiyah. Sangat disayangkan, pemerintah melalui DINSOS hanya memberikan dana Rp. 850.000/tahun untuk satu orang penghuni panti asuhan, nilai yang sangat kecil untuk sebuah panti asuhan yang sudah berdiri sejak tahun 1983 ini. Muhammadiyah sendiri setiap bulannya mengucurkan dana Rp. 30.000.000 untuk biaya operasional panti asuhan berpenghuni kurang lebih 35 orang itu setiap bulannya. Sungguh perbandingan yang sangat tidak seimbang antara peran pemerintah dengan masyarakat.
Dengan menyoroti problema yang dialami oleh kelompok masyarakat tunadaya di panti asuhan tersebut, nampaknya perlu upaya yang lebih serius. Dengan pertimbangan kurikulum yang diterapkan di SMA/sederajat, SMP, apalagi SD masih belum secara tegas mengadopsi nilai-nilai ekonomi syariah serta kebertumpuan pendidikan ekonomi syariah masih berorientasi pada perguruan tinggi, yang itupun terbatas oleh titel fakultas ekonomi, prodi maupun UKM bersangkutan saja, maka usaha pemberdayaan yang lebih konkret jelas dibutuhkan, karena jika hanya mengandalkan akses pendidikan formal, selamanya kelompok tunadaya ini akan terus bergelut dengan problema ketersediaan dana.
Minimnya akes pendidikan formal dan program pendidikan kewirausahaan bagi kelompok tunadaya akhirnya memunculkan kekhawatiran akan semakin tertinggalnya pemahaman intelektual maupun keterasahan softskill mereka, padahal seiring perkembangannya, Indonesia dituntut memenuhi kebutuhan SDI ekonomi syariah yang mempuni. Tanpa pemberdayaan yang baik, besar kemungkinan secara alamiah kelompok tunadaya dengan kelas ekonomi rendah ini akan terarah menjadi semakin tidak produktif ditengarai berbagai keterbatasan yang mereka miliki. Dengan tingkat pendidikan kelompok tunadaya di panti asuhan yang rata-rata berkisar antara SD sampai SMA, akibat lebih lanjut yang perlu diantisipasi adalah meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Pada tingkat provinsi pun, angka pengangguran ini sudah tinggi, sebagaimana dilaporkan dalam Berita Resmi Statistik BPS Jawa Barat No. 25/05/32/Th. XV, 6 Mei 2013 sebagai berikut:
 













 Pendidikan kewirausahaan dan pembentukan inkubator bisnis adalah cara yang bisa ditempuh untuk mengembangkan keterampilan kelompok tunadaya ini, terlebih dengan jumlah penduduk sebanyak 238 juta (versi sementara BPS), nyatanya komposisi entrepreneur Indonesia baru berkisar 1,65%
Menanggapi hal ini, pemerintah tidak sepenuhnya lepas tangan, kebijakan pemberdayaan masyarakat ekonomi rendah sebelumnya melalui KUBE (kelompok usaha bersama) pernah digencarkan. Program ini juga menggagas pemberdayaan masyarakat tunadaya melalui pembentukan KUBE anak terlantar, KUBE fakir mikin, KUBE masyarakat terasing, KUBE penyandang cacat dan KUBE keluarga muda mandiri.  Sayangnya, program ini masih sarat dengan praktek ribawi berupa bunga yang harus dibayar masyarakat dalam pembayaran angsuran modal pinjaman dari program KUBE tersebut, sama halnya dengan grameen bank yang juga marak perkembangannya di masyarakat dalam upaya memberikan kemudahan akses permodalan bagi usaha mikro di Indonesia.
 Kalangan terdidik dari perguruan tinggi atau perusahaan pun lebih cenderung memberikan bantuan secara insidental, tanpa ada proses pendidikan berkelanjutan. Maka melalui program I-SIEMENT, diharapkan pemerintah, pengusaha dan akademisi dapat saling bersinergi dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat tunadaya ini.
Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, penyusun mengangkat penelitian dengan judul Integrated Syariah Edupreneurship Empowerment (I-SIEMENT) :Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Tunadaya Di Panti Asuhan Melalui Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Syariah”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana perkembangan dan kendala pemberdayaan masyarakat ekonomi rendah di Indonesia ?
2.    Bagaimana kewirausahaan syariah mampu meningkatkan kapasitas pribadi dan kolektif kelompok masyarakat tunadaya menjadi Sumber Daya Insani kompeten?
3.    Bagaimana penerapan program I-SIEMENT bagi kelompok tunadaya di panti asuhan dalam mencetak SDI handal?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.    Menjelaskan mengenai perkembangan dan kendala pemberdayaan masyarakat ekonomi rendah di Indonesia.
2.    Menjelaskan tentang konsep kewirausahaan syariah dalam meningkatkan kapasitas pribadi dan kolektif kelompok masyarakat tunadaya menjadi Sumber Daya Insani kompeten
3.   Menjelaskan bagaimana penerapan program I-SIEMENT bagi kelompok tunadaya di panti asuhan dalam mencetak SDI handal.

1.4 Manfaat Penulisan

1.     Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai tambahan referensi terkait pengembangan opsi solutif dalam mengatasi permasalahan ekonomi masyarakat kelas rendah dan memberikan gambaran tentang bagaimana meningkatkan peran secara aktif dalam mengaktualiasasikan ilmu pengetahuan menjadi sumbangsis yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.     Bagi masyarakat, dapat memberikan tambahan informasi terkait permasalahan di sektor ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran untuk mengembangkan kapasitas diri meski ditengah keterbatasan.
3.     Bagi pelaku bisnis, dapat menjadi masukan bagi pengembangan program company social responsibility berupa pemberdayaan kelompok tunadaya yang berkelanjutan.
4.     Bagi pemerintah, sebagai salah satu masukan untuk merumuskan kebijakan yang relevan dan menyeluruh  dalam memperbaiki sistem pemberdayaan masyarakat yang benar-benar mampu menyentuh kalangan terendah yang sangat minim akses di masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSATKA


2.1 Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Model pemberdayaan ini menjadi penting untuk dibahas karena melalui landscape inilah akan ditentukan arah pengelolaan sumber daya manusia yang lebih lanjut diharapkan mampu memenuhi standar serta mampu memberikan kontribusi nyata dalam laju pembangunan perekonomian negara.
Pemberdayaan merupakan terjemahan dari empowerement, sedangkan menurut Merriam Webster dan Oxford Engslish Dictionary, memberdayakan mengandung dua pengertian yaitu : 1) memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; 2) usaha untuk memberi kemampan atau kepedayaan.
Menurut catatan sejarah, konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 (masa renaissance) meskipun kala itu konsep pemberdayaan ini masih sangat identik dengan upaya perlawanan atas determinasi keagamaan. (Efendi Guntur, 2009).Namun seiring perkembangan zaman, konsep ini pun mulai meluas dan lahir sebagai antithesis terhadap model pembangaunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada kepentingan rakyat mayoritas. Kondisi yang tercipta tidak lain adalah dikotomi dimana masyarakat yang berkuasa memiliki hak lebih terhadap masyarakat lain yang dikuasai. Untuk terbebas dari kondisi tersebut, maka dilakukanlah proses pemberdayaan (empowerment of the powerless).
Dalam praktek ekonomi, setidaknya ada tiga model pemberdayaan yang terbentuk di lingkungan masyarakat, yaitu:
Model pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat pada “daun” dan “ranting” atau pemberdayaan konformis (magical paradigm). Dengan asumsi bahwa struktur social, struktur ekonomi termasuk segala keadaan yang melekat pada diri mereka adalah hal yang bersifat given, maka bentuk pemberdayaan yang dilakukan adalah dengan menyesuaikan dengan kondisi yang sudah given tersebut. Contoh nyatanya seperti memberdayakan masyarakat tunadaya dengan pemberian santunan, bantuan modal, sarana pendidika dan lain sebagainya.
Model kedua, pemberdayaan yang hanya berfokus pada “batang”, dikenal dengan istilah pemberdayaan refomis (naiive paradigm). Asumsi pada model kedua ini menganggap bahwa sudah tidak ada masalah lagi dengan tatanan social, ekonomi, politik dan budaya secara umum, yang menjadi permasalahan adalah kebijakan operasional dari pemangku kekuasaan. Cara pemberdayaannya dengan membalikkan haluan dari top down menjadi bottom up sembari terus memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang telibat di dalamnya.
Model ketiga, pemberdayaan yang hanya berkutat pada “akar” atau pemberdayaan structural (critical paradigm). Ketidakberdayaan masyarakat lemah terhadap struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya mendorong doktrin untuk menggulingkan pusat kekuasaan atau pihak the powerful. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan misalnya dengan memberikan akses atau memfasilitasi masyarakat lemah untuk melawan pemerintah, menjadi provokator dalam menentang para pengusaha serta orang kaya apatis lainnya.
Berdasarkan uraian konsep pemberdayaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadaan ideal suatu pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah ketika seluruh lini baik dari dasar (akar) hingga lini teratas (daun) saling bersinergi mengalami perbaikan. Dengan beberapa catatan bahwa pemberdayaan ekonomi masayarakat ini tetap memprioritaskan pemerataan penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan distribusi dan pemasaran, Penguatan masyarakat untuk mendapatkan upah serta akses informasi dan pengetahuan yang memadai dengan tetap menyeimbangkan antara aspek kontribusi masyarakat (hilir) dengan aspek kebijakannya (hulu).

2.2 Edupreneurship dalam perspektif umum dan islam

                Sebelum membahas istilah edupreneur, terlebih dahulu akan dipaparkan induk dari istilah tersebut yang tidak lain adalah entrepreneurship. Dalam buku dasar-dasar kewirausahaan (Hendro, 2011) istilah entrepreneurship diawali oleh Richar Cantillon (1755) yang menyatakan “entrepreneurial is an innovator and individual developing something unique and new”. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh seorang ekonom bernama J.B. Say (1803) dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa kewirausahaan adalah suatu usaha untuk menggambarkan orang-orang yang mampu mengelola sumber-sumber daya yang dipunyainya secara ekonomi (efektif dan efisien) dari tingkat produktivitas yang rendah menjadi lebih tinggi. Litelatur lain mengatakan bahwa kata wirausaha ini berasal dari entrepreneur (bahasa Perancis) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yang berarti between taker atau go-between atau seorang perantara (Buchari Alma, 2009:22)
Dalam perspektif islam, Al-Qur’an telah menegaskan semangat kewirausahaan sebagaimana terdapat dalam QS.Al-Jumuah:10 serta QS.Al-Mulk:15 sebagai berikut:
Description: 62:10
 



Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS. Al-Jumuah: 10)

Description: 67:15
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk : 15)
Dari kedua ayat terebut, kesemuanya mengacu pada kesimpulan dimana manusia diperintahkan untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal untuk menghidupi dirinya, keluarga serta yang terpenting tetap diniatkan untuk tujuan beribadah kepada Allah. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasul yang diriwayatkan Imam Ahmad yakni “Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya perdagangan itu di dunia ini adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki” (HR.Ahmad).
            Problema serius yang dihadapi umat (tidak terkecuali umat islam di Indonesia) dalam masalah ekonomi, adalah kemiskinan. Peran wirausaha muslim yang menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dicontohnya oleh Nabi Muhammad SAW dalam mengupayakan pemerataan ekonomi adalah suatu harapan yang terus dipelihara semangantya, mengingat jumlah mayarakat miskin yang masih begitu banyak, dan termasuk di dalamnya adalah kaum muslim.
Dewasa ini, adanya pemahaman mengenai heterogenitas kewirausahaan (entrepreneurship) menyebabkan perluasan pengembangan penelitian mengenai konsep kewirausahaan tersebut. Istilah technopreneurship yaitu kegiatan usaha yang dikembangkan oleh mereka yang memanfaaatkan teknologi tinggi tertentu, serta istilah intrapreneurship yang merupakan jenis usaha yang berkembang di dalam lingkup perusahaan adalah contoh bagaimana konsep pemikiran mengenai kewirausahaan sudah bagitu berkembang.
Sama halnya dengan edupreneurship yang lahir dari cabang kewirausahaan sosial, dan menginduk pada konsep awal kewirausahaan. Sebagaimana dijelaskan dalam konsep kewirausahaan (Yoyon, 2006) bahwa sebagai bidang yang relatif baru berkembang, akan muncul sejumlah pendapat yang berbeda mengenai apa itu kewirausahaan pendidikan atau edupreneurship dan bagaimana peran dari seorang edupreneur tersebut.
Sebagai salah satu perguruan tinggi yang ikut mengembangkan konsep edupreneur tersebut, UPI memiliki panduan tersendiri tentang deskripsi edupreneur. Pada awalnya, konsep ini dirumuskan sebagai suatu pembekalan keterampilan kewirausahaan bagi para calon pendidik, sehingga pada saat terjun ke dunia kerja nanti, orientasinya bukan hanya bekerja di suatu instansi atau lembaga pendidikan, namun lebih jauh lagi yaitu mampu menciptakan suatu usaha yang dapat menyerap tenaga kerja, itulah mengapa seorang entrepreneur dinilai memiliki nilai vital dalam perkembangan perekonomian suatu negara. Seiring tuntutan akan sumbangsih akademisi serta peran perguruan tinggi dalam masyarakat, akhirnya konsep ini diperluas hingga pemahaman akan edupreneur dimaknai melaui tugas wirausahawan pendidikan yang dijelakan sebagai berikut:
1.    Mengenali adanya kemacetan atau kemandegan dalam kehidupan masyarakat
2.    Mengidentifikasi elemen yang tidak berfungsi dalam masyarakat
3.    Menyediakan jalan keluar dengan merubah atau memperbaharui sistem
4.    Menyebarluaskan pemecahan masalah tersebut
5.    Meyakinkan masyarakat untuk mau bergerak lebih progresif menerapkan sistem baru yang dianggap lebih efektif dengan tetap mempertahankan konsep kewirausahaan, sehingga masyarakat dibentuk untuk mandiri.
Pada dasarnya islam mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia di muka bumi ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Maka konsep edupreneur ini dimaknai sebagai suatu proses mengembangkan jangkauan ilmu bisnis yang dimiliki seorang wirausaha dengan tetap memperhatikan aspek kebermanfaatan yang lebih luas tidak hanya bagi dirinya, tapi juga masyarakat sekitar. Nilai-nilai kewirausahaan sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW melalui model FAST (Fathonah, Amanah, Shiddiq dan Tabligh) ditambah faktor I, yaitu Istiqomah adalah nilai tambah dalam pengimplementasian konsep edupreneur ini. Konsep edupreneur yang mengarah pada peran kelompok intelek dalam membangun kemakmuran sosial inilah yang berusaha dikembangkan oleh penyusun melalui karya tulis ini.

2.3 Program Pemberayaan Ekonomi Kerakyatan di Indonesia

Krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia, setidaknya memberikan pengaruh terhadap tingkat kemiskinan dan minimnya akses bagi kelompok masyarakat tunadaya. Seringkali kemiskinan tidak melulu melibatkan permasalahan harta benda yang dimiliki, tapi juga disebabakan kurangnya kapasitas dan kesempatan untuk mengembangkan kegiatan usaha yang produktif. Untuk meminimalisir dampak tersebut, di Indonesia sudah banyak BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan lembaga keuangan lain yang merepleksi sistem Grameen Bank sebagaimana yang pernah dipraktekan di Bangladesh oleh penggagasnya yaitu Profesor Muhmmad Yunus dengan mengubah konsep semula yakni masyarakat yang mendatangi bank untuk mengakses modal, menjadi bank yang menghampiri masyarakat. Namun dalam prakteknya, belum ada usaha untuk benar-benar menjangkau kelompok masyarkat tunadaya seperti yang terdapat di panti asuhan, jangkauan ini baru meliputi usaha-usaha mikro di pedesaan.
Departemen sosial (Depsos) pun merespon permasalahan tersebut dengan suatu proyek yang dinamakan KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dengan konsep yang tidak begitu jauh berbeda dengan sistem Grameen Bank.
Keterujian dan kehandalan program ini digadang-gadang telah banyak terbukti secara akademis terutama dalam pengembangan berbagai disertasi oleh para pakar bergelar doctor di bidang ilmu ekonomi, melalui berbagai penelitian aparatur pemerintah dibawah naungan Depsos, serta seminar-seminar baik tertutup maupun terbuka. Berikut adalah kerangka berfikir program KUBE yang dijelaskan Dr. Effendi M. Guntur, SE dalam bukunya yang berjudul Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, 2009 :

a.       Pengertian
Kelompok usaha bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga dan telah dibina sebelumnya oleh Depsos untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya.
b.      Tujuan dan sasaran
Tujuan KUBE diarahkan kepada upaya pengentasan kemiskinan melalui: 1) peningkatan kemampuan wirausaha para anggota KUBE; 2) peningkatan pendapatan; 3) pengembangan usaha; 4) peningkatan kepedulian sosial diantara anggota KUBE dan masyarakat sekitar. Sasaran KUBE sebagaimana yang diarahkan oleh program kerja departemen sosial masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan rincian : 1) keluarga fakir miskin; 2) Kelompok masyarakat terasing; 3) Penyandang cacat; 4) Kelompok lanjut
c.       Organisasi dan manajemen
Dalam hal kepengurusan KUBE, pada hakekatnya dibentuk dari, oleh, dan untuk anggota kelompok yang berkeinginan dan memiliki kualitas diri untuk kesediaan mengabdi, rasa keterpanggilan, dan yang terpenting memiliki kemampuan dan pengalaman.
Untuk keanggotaan, jumlahnya terdiri atas 5 sampai 10 orang atau 10 kepala keluarga sesuai kelompok sasaran, seperti sudah dijelaskan pada poin sebelumnya.
d.      Mekanisme pelaksanaan
Dalam prakteknya, KUBE melibatkan banyak instansi pemerintah di berbagai tingkatan. Di tingkat nasional Depsos memegang tanggung jawab penuh atas keterlaksanaan proyek. Di tingkat provinsi, gubernur bertanggung jawab merancang operasional proyek dan pemantauan, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, walikota bertanggung jawab atas alokasi dana bagi masing-masing lokasi sasaran. Sedangkan agen mitra bertanggung jawab memastikan proyek berjalan dengan indikator diterimanya pinjaman modal usaha oleh masyarakat miskin. Berikut adalah skemanya:


(1)
Dept.  Keuangan
DEPSOS
Dirjen Bidang Keamanan Dan Bantuan Sosial
KUBE/LKM
Penerima manfaat
BRI PUSAT
BRI. Cabang Kabupaten
 perjanjian bersama
                                                                                                      (2)
                                       (3) pembukaan rekening
                                                                                                      
                                       (5) pembukaan rekening                                         (4)
                                                                                                      

Gambar 2.3.1 Mekanisme pendaan KUBE                                                           (6)
sumber: Departemen Sosial
           
            Kritik atas program yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2005 (Tahun KUBE Indonesia) ini pun mulai menyeruak, kompleksifitas keterlibatan stakeholder mulai dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan, asosiasi usaha dan pembiayaan tenaga penyuluh eskitu maupun inskitu dalam program ini menguras anggaran yang tidak sedikit untuk biaya operasional. Permasahalan lain yang muncul dalam penyelenggaraan KUBE ini antara lain:
1)      Adanya Indikasi kebocoran dana akibat kompleksifitas program
2)      Besaran bunga pinjaman yang memberatkan masyarakat dan masih saratnya unsur ribawi karena bank yang ditunjuk sebagai penyalur dana adalah bank konvensional
3)      Persyaratan administratif dan ketentuan bankable yang masih sulit dipenuhi oleh masyarakat
4)      Keterjangkauan KUBE yang belum merata

2.4 Manajemen Bisnis Syariah

Bagi seorang muslim, memberantas kemiskinan memiliki nilai ibadah sosial, dan kewajiban yang menyangkut nilai dan bobot keagamaan seseorang. Agama islam diturunkan untuk menuntun manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam muamalah, yang dalam hal ini lebih dispesifikan dalam lingkup bisnis. Islam mengenal istilah syariah yang didalamnya terkandung seperangkat “do’s and don’ts” apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Kaitannya dengan ekonomi, bahwa dengan menerapkan syariah tersebut dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, ada tujuan yang hendak dicapai yaitu memajukan kesejahteraan manusia yang terletak  pada jaminan atas keyakinan, intelektual, harta dan masa depan masyarakat. Berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis yang selama ini dianut yang secara jelas menegasikan kelompok ekonomi rendah dan mengokohkan kedudukan kelompok ekonomi skala besar dengan segala kemampuannya dalam menguasai sumber daya.
(Ali Hasan, 2009) menjelaskan bahwa dalam menjalankan bisnis berlandaskan syariah, maka aktivitas bisnis perlu dikelola dengan baik mengacu pada Al-quran dan hadist serta ketetapan muamalah lainnya. Membangun bisnis entrepreneurship syariah merupakan suatu upaya untuk mengelola kombinasi antara sumber daya mausia, sumber daya alam, modal (finance) dan teknologi dengan cara yang halal untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai (value), sehingga keuntungan yang diperoleh akan berkah meskipun tetap bergandengan dengan resiko usaha tertentu yang lazim timbul saat menjalankan bisnis.
 







Gambar 2.4.1 Bussiness Building

            Ajaran islam sejatinya harus terus menjadi landasan kukuh dalam 1) memantapkan hati nurani umat islam bahwa apa yang dikerjakan secara moral dari segi keimanan adalah benar, 2) dalam motivasi kerja dan sumber inspirasi untuk melahirkan prakarsa dan kreativitas dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat, 3) menjadi kendali dalam membangun dan menjalankan bisnis, menetapkan target-target bisnis yang ingin dicapai seperti :
1.      Hasil (profit) baik materi non materi yang memberika manfaat baik internal maupun eksternal terhadap persaudaraan, silaturrahmi, kepedulian sosial islam, membuka kesempatan kerja dan yang paling penting hasil tersebut halal untuk dipergunakan dan cara mendapatkannya bukan pula dengan menghalalkan segala cara.
2.      Menciptakan pertumbuhan (growth), artinya mengembangkan bisnis secara terus menerus dengan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, serta dengan meningkatkan investasi syariah berupa zakat, infak dan sadakah.
3.      Menjaga keberlangsungan (sustainable), orientasi bisnis yang benar adalah adanya keberlangsungan jangka panjang. Manajemen dalam bisnis hanya sebagai alat, sedangkan keberlangsungan usaha tergantung dari seberapa konsistenkan tekad wirausaha tersebut dalam membangun bisnisnya yang mengikuti syariah Allah
4.       Keberkahan, hal ini merupakan faktor penting dalam bisnis syariah. Meski tidak muncul dan sukses dalam waktu singkat, namun yang terpenting adalah kebutuhan dan kewajiban wirausaha terhadap bawahan serta lingkungan sekitarnya tetap terperhatikan. Ini lebih baik dari pada bisnis yang dengan mudah melejit, namun karena hilangnya keberkahan atas hak-hak bawahan yang tidak tepenuhi, pada akhirnyaakan membuat bisnis hancur dengan sendirinya.
            Terkait dengan pembiayaan bisnis, maka modal merupakan hal penting yang perlu dipenuhi, salah satu cara yang lazim dilakukan ialah dengan melakukan pinjaman modal dari lembaga keuangan. Dalam islam, lembaga keuangan syariah dan BMT memegang peranan penting dalam proses penyediaan modal ini. Penyediaan modal berupa uang didasarkan atas kesepakatan antara lembaga keuangan dengan pihak kedua yaitu nasabah atau pihak pengelola modal yang dikenakan kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan berupa bagi hasil, bukan bunga pinjaman seperti yang diberlakukan pada bank atau lembaga keuangan konvensional dalam pemberian loan.
            Dengan menggunakan prinsip syariah, bentuk pembiayaan yang bisa diberikan untuk menopang kegiatan usaha mengacu pada dua jenis akad, yaitu tijarah dan syirkah sebagai berikut:
1)      Akad tijarah (jual beli), yakni suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara bmt dengan anggota dimana bmt menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara mencicil pada saat jatuh tempo pengembalian.
2)      Akad syirkah (penyertaan dan bagi hasil)
a)      Prinsip bagi hasil (mudarabah). Mudharabah yaitu jenis pembiayaan dimana bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja hingga 100%, sedangkan nasabah menyediakan usaha manajemennya, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama dalam bentuk nisbah (prosentase) dari keuntungan.
b)      Prinsip penyertaan modal (musyarakah). Musyarakah adalah pembiayaan sebagian (50%) dari modal usaha keseluruhan, dalam jenis pembiayaan ini bank dapat dilibatkan dalam proses manajemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian yang disepakati.

Baitul Maal Wat Tamil sendiri secara konseptual memiliki dua fungsi utama yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Secara harfiah, fungsi baitul maal tersebut menyangkut kegiatan dalam menerima titipan dana ZIS (zakat, infak, shadaqah) untuk kemudaian dioptimalkan penditribusiannya. Sedangkan fungsi baitul tamwil mencakup kegiatan pengembangan dana untuk usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha mikro.  Menurut Hosen dan Hasan Ali dalam (Buchari Alma, 2009) BMT sendiri merupakan lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan usaha mikro dalam rangka mengangkat erajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraaan.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) karena penelitian yang dilakukan hanya sebatas mendeskripsikan fenomena - fenomena yang terjadi di sekitar obyek penelitian. (Muhammad Teguh,1999: 17).

3.2 Teknik dan Prosedur Penulisan

Teknik penulisan dari karya tulis ini dilakukan dengan mengumpulkan,  mengidentifikasinya menjadi data utama dan data tambahan, kemudian dieksplorasi dengan melakukan metode diskusi bersama pihak-pihak terkait untuk mempekuat analisis sehingga mampu memberikan deskripsi mengenai masalah yang secara tepat. Karena karya tulis ini disusun dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif dan pendekatan kualitatif, maka teknik penulisan karya tulis ini pun menggunakan teknik penulisan yang berkarakter kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan, dan merangkai variabel-variabel yang diteliti menjadi rangkaian kata-kata yang padu dalam setiap bagian pembahasan. Prosedur dan sistematika penulisan karya tulis ini berdasarkan pada pedoman umum lomba karya tulis nasional Syariah Economic Education (SEEd) 2014.

3.3 Jenis Data dan Analisis Data

Jenis data yang digunakan dalam karya tulis ini adalah jenis data kualitatif. Adapun sumber data – data ini diperoleh data sekunder yakni digali dari hasil olahan pihak kedua dengan media antara lain buku, majalah, artikel, jurnal penelitian serta media elektronik yang relevan dengan permasalahan.
Setelah data terkumpul, selanjutnya diikuti dengan kegiatan pengolahan data (data processing). Data yang relevan akan digunakan sebagai rujukan dalampembahasan. Setelah proses pengolahan data, berikutnya adalah menganalisis datadan menginterpretasikannya. Analisis data dilakukan secara berlanjut, berulang dan kontiunitas yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan terakhir yaitu penarikan kesimpulan.





BAB IV
PEMBAHASAN

4.1    Analisis

4.1.1        Perkembangan Dan Kendala Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Rendah Di Indonesia
Perkembangan trend positif ekonomi syariah memberikan berbagai tantangan dalam penerapannya, terlebih dengan sistem ekonomi kapitalis yang sudah mengakar sebelumnya di Indonesia. Usaha transformasi perekonomian suatu negara pasti akan terjadi, mengingat semakin ketatnya persaingan global dan terpaan krisis yang senantiasa mengintainya. Mengarah kepada kemajuan atau justru ketertinggalan bahkan kehancuran suatu ekonomi tersebut sangat tergantung pada kekuatan masyarakat dalam merespon tuntutan-tuntutan tersebut.
Perekonomian dunia memiliki siklusnya tersendiri, Indonesia yang berada dalam pusaran siklus tersebut dihadapkan pada tantangan Asean Economic Community (AEC) sekaligus juga pada persoalan minimnya SDI yang kompeten ditengah masih tingginya tingkat pengangguran di kelangan pemuda yang sejatinya sangat diharapkan kontribusinya bagi pembangunan ekonomi Indonesia, serta masih tingginya jumlah masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti yang dilaporkan oleh departemen sosial berikut ini:
Description: G:\ \tabel kemiskinan.jpg
 

















Ketelibatan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan ekonomi, bagi kalangan mayarakat ekonomi rendah yang selama ini difokukan pada 5 poin pemberdayaan yakni 1) bantuan modal bergulir, 2) bantuan pembangunan prasarana, 3) pengembangan kelembagaan lokal, 4) penguatan dan pembangunan kemitraan usaha, dan 5) fasilitasi pendampingan eskitu nyatanya belum mampu menjangkau kelompok masyarakat tunadaya yang rentan ini, apalagi bagi anak-anak tunadaya di panti asuhan. Fokus pemerintah lebih mengarah pada pengembangan masyarakat melalui kegiatan usaha mikro sedangkan kelompok tunadaya di panti asuhan yang menghimpun anak-anak terlantar dan miskin dikesampingkan kepentingannya. Dengan tingkat partisipasi pemerintah dalam pengelolaan panti asuhan yang hanya 1% sedangkan 99% sisanya dikelola langsung oleh lembaga keagamaan dan masyarakat menunjukan kurangnya kepedulian pemerintah.
Pemerintah mencoba menjangkau kelompok tunadaya dan fakir miskin dengan mendorong perkembangan berbagai lembaga keuangan berkonsep grameen bank seperti Yayasan Para Sahabat, Ukabima, Yayasan Mitra Usaha, serta berbagai BPR yang diharapkan mampu memandirikan pula panti asuhan dengan bantuan modal yang diberikan. Sayangnya, karena mayoritas panti asuhan tersebut berdiri atas prakarsa lembaga keagamaan, maka konsep pembiayaan grameen bank yang masih sarat dengan riba tidak dianggap sebagai solusi yang tepat. Pada akhirnya, saat para pengurus panti asuhan dihadapkan pada defisit anggaran, uang pribadi mereka lah yang terpakai untuk kepentingan ini.
Bentuk pemberdayaan dari kalangan akademsi pun selama ini dinilai belum mencerminkan pendidikan yang sustanible atau berkelanjutan, bentuk pengabdian maupun bhkti sosial kepada masyarakat yang dilakukan lebih mengarah kepada berbagai upaya pelatihan, bukan pendidikan. Dalam perspektif pengelolaan SDM, terdapat beberapa poin penting pembeda antara pelatihan dengan pendidikan. Secara tujuan, pendidikan diarahkan untuk membentuk managerial skill, dilakukan dalam jangka waktu dan manfaatnya pun untuk investasi jangka panjang, sedangkan pelatihan yang selama ini banyak diberikan lebih berorientasi pada pembentukan technical skill dengan skala waktu yang relatif singkat. (Malayu, 2005)
  Pada tahun 2005 lalu pemerintah telah menetakapkan bahwa tahun tersebut sebagai tahun KUBE (kelompok usaha bersama) Indonesia. Program ini  menggagas pemberdayaan masyarakat tunadaya melalui pembentukan KUBE anak terlantar, KUBE fakir mikin, KUBE masyarakat terasing, KUBE penyandang cacat dan KUBE keluarga muda mandiri.
Namun selama 9 tahun berjalannya program KUBE, terdapat beberapa kendala yang masih perlu dievaluasi diantaranya :
1)     Kompleksifitas keterlibatan stakeholder mulai dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan dan asosiasi usaha dalam program ini menguras anggaran yang tidak sedikit untuk biaya operasional. Proyek KUBE ini menyedot dana APBN dengan status sebagai hibah yang nantinya ditambahkan ke simpanan anggota kelompok KUBE dengan persentase mencapai 200% dari jumlah simpanan kelompok. Belum lagi dengan biaya penyuluhan baik itu para penyuluh inskitu maupun eskitu membengkak karena kebutuhan akan penyuluh yang tinggi untuk diposisikan dalam pembinaan KUBE.
2)        Adanya Indikasi kebocoran dana pun semakin besar terjadi, terlebih tingkat korupsi aparatur pemerintah di negara ini sudah seakan menjadi hal lazim, bahkan mendapat pengakuan dunia internasional dengan predikat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi.
3)        Gelontoran dana yang diberikan kepada masyarakat adalah dalam bentuk pinjaman pun masih bersumber dari Bank konvensional (dalam hal ini Depsos bekerja sama dengan BRI) yang masih sarat dengan unsur riba. Penyusun menganalogikan hal ini dengan “menyelesaikan masalah, dengan masalah”, Bagaimana tidak menimbulkan masalah baru? Cicilan yang harus dibayarkan meskipun ditanggung secara kolektif tetap memberatkan masyarakat kelas rendah ini, karena ada unsur riba atau tambahan uang yang harus disetorkan oleh mereka selaku peminjam modal. Dalam islam, suatu bisnis yang dibangun dengan dana riba akan kehilangan keberkahannya. Hal ini ecara jelas menentang tujuan ekonomi yang sedari awal sudah disepakati yaitu “ekonomi dibangun dengan cara yang memenuhi ketentuan syariah agama”
4)        Persyaratan adminitratif dan ketentuan bankable masih berlaku, sehingga menghambat penyaluran dana baik dari segi ketepatan waktu maupun besaran pinjaman yang diberikan.
5)        Adanya indikasi kartel tingkat suku bunga yang ditetapkan untuk pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) oleh bank-bank BUMN selaku lembaga keuangan yang dipercaya pemerintah runtuk menjadi mitra. BI rate yang naik pun menjadi salah satu alasan mengapa bank tersebut menaikkan tingkat suku bunga pinjamannya.
6)        Meskipun program nasional ini berbentuk KUBE anak terlantar, KUBE anak jalanan, KUBE Lansia, KUBE fakir miskin, hingga KUBE keluarga muda mandiri, nyatanya keterjangkauannya masih rendah. Buktinya saja masih banyak anak-anak terlantar di panti asuhan yang sama sekali belum tersentuh program ini. Mayoritas panti asuhan bahkan masih memberatkan kebutuhan finansial dari donatur dan penanggungjawab organisasi keagamaan pendiri panti asuhan itu sendiri.
7)        Perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa sekarang berkembang “moratorium” pegawai negeri, ditengah minimnya jumlah penyuluh kompeten yang berada dibawah naungan operasional  pemerintah, jumlah penyuluh senior yang memasuki masa pensiun lebih besar daripada jumlah penyuluh baru yang direkut, sehingga kini program penyuluhan tersebut tidak lagi efektif.
8)        Pengdopsian konsep grameen bank dalam BMT KUBE dianggap belum sesuai syariah, sebagaima dijelaskan dalam buku Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Effendi, 2009), teknis pendirian tersebut adalah :
a.       Sosialisasi konsep KUBE dan BMT kepada masyarakat
b.      Dibentuk kelompok yang terdiri dari 10 orang warga dengan 1 diantaranya bertindak sebagai ketua
c.       Setelah melakukan identifikasi keanggotaan oleh pendamping, warga bersepakat membentuk KUBE dan  menjalani Pelatihan Wajib Himpunan (PWH)
d.      Modal diberikan dengan susunan 3 3 3 1, ketua yang terakhir mendapatkan. Modal diperoleh dari investasi pemerintah dan dana yang dialokasikan oleh bank negara, dalam hal ini BRI, bank konvensional yang menerapkan bunga dalam pengembalian modalnya.
e.       Setelah kegiatan usaha berjalan selama 6 bulan, barulah para anggota KUBE bersama masyarakat setempat diarahkan untuk membentuk BMT KUBE yang anggotanya terdiri dari anggota kube itu sendiri.
f.       Setelah terbentuk, BMT KUBE menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro syariah di masyarakat.
Masalah lain terkait kelemahan teknis dalam keterlibatan peran pemerintah, akademisi, dan pengusaha dalam teknis pelaksanaan KUBE dapat dirincikan sebagai berikut:
Kebutuhan pembelajaran
Keadaan sekarang
Instani
Spesifikasi pelayanan
Kemampuan teknologi
Diperindagkop dan PKM, Depsos, perguruan tinggi, LSM, disnaker, sek. kejuruan
Pelatihan, pembinaan, pengabdian masyarakat, bimbingan usaha, pelatihan, kursus, magang
Pengetahuan permodalan
Depsos, diperindagkop dan PKM
Pembinaan pelatihan
Pengetahuan pemasaran
Diperindagkop dan pkm, depsos, asoiasi usaha
Pembinaan organisasi, pendaftaran, izin, pembinaan niaga, kemitraan, pembinaan koperasi
Peningkatan kreativitas
Depsos dan pemda
Secara khusus belum ada
Peningkatan keuletan berusaha
-
Secara khusus belum ada
Peningkatan keberanian beresiko
-
Secara khusus belum ada
Peningkatan kewirausahaan
-
Secara khusus belum ada
Layanan permodalan
Perbankan, BUMN
Promosi pinjaman terkait proyek
Dari tabel diatas terlihat bahwa keterlibatan stakeholder atau instansi terkait masih berkutat pada usaha peningkatan pengunaaan teknologi, pengetahuan permodalan, pemasaran, dan berbagai upaya diklat. Sedangkan sentuhan aspek sikap dan perilaku berwirausaha belum terperhatikan, padahal aspek inilah yang menjadi titik awal keberhasilan suatu usaha, karena menyangkut penguatan mental sebagai seorang entrepreneur.
Dalam kaitannya dengan kelompok masyarakat tunadaya di panti asuhan yang sampai saat ini masih mengekor bantuan dana dari lembaga keagamaan, donator, dan sedikit dari pemerintah, maka dari itu dibutuhkan peran nyata dari seorang wirausahaan pendidik (edupreneur) yang mampu memberikan pendidikan dengan ilmu akademisnya, serta mampu mengembangkan jiwa kewirausahaan, kemampuan manajerial, dan mengembangkan  kesadaran akan pentingnya berwirausahaa untuk membangun kemandirian yang sebenarnya pada diri setiap masyarakat yang tegolong dalam kelompok tunadaya ini.

4.1.2        Kewirausahaan syariah dalam upaya meningkatkan kapasitas pribadi dan kolektif kelompok masyarakat tunadaya menjadi Sumber Daya Insani

Kewirausahaan syariah yang penyusun gagas dalam konsep pembinaan ini adalah bentuk pemberdayaan berkelanjutan dengan melibatkan 3 peran sentral dalam pembangunan ekonomi, yaitu pemerintah (goverment), pengusaha (bussinessment) dan akademsi (acedemiciant) yang secara umum mencakup hal-hal berikut:
1) Penyediaan akses untuk mengenal kewirausahaan
2) Peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan berkelanjutan yang ditekankan pada simulasi dan praktek bisnis syariah dengan  produk yang sudah tersedia dari penyuluh (mahasiswa yang sudah memiliki bisnis)
3)  Pembinaan manajerial bisnis melalui inkubator beruba BMT yang  memanfaatkan SDM dengan background aktifis lembaga keagamaan yang selama ini hanya diposisikan sebagai pengelola panti asuhan saja. Legalitas dan tahapan birokrasi pendirian BMT ini dibantu oleh pemerintah kota.

Nilai-nilai kewirausahaann yang diadopsi adalah sebagaimana yang dipraktekan oleh Rasuullah yaitu melalui formula FASTI sebagai berikut:
1)      Fathonah, cerdas dalam membangun strategi bisnis dan berdiplomasi/negosiasi sebagai upaya untuk mencapai hasil maksimal dalam berbisnis.
2)      Amanah, menjaga kepercayaan pihak lain yang terlibat dalam bisnis, terutama dalam hal ini adalah pihak pemberi modal dan juga pelanggan.
3)      Shiddiq, jujur dalam melakukan transaksi, meskipun berorientasi untuk mendapatkan profit, namun profit tersebut haruslah didapatkan melalui cara-cara yang halal, tidak merugikan kepentingan pihak manapun.
4)      Tabligh, pada hakikatnya berbisnis pun memilki nilai ibadah jika diniatkan karena Allah, maka melalui bisnis ini yang scopenya adalah bidang ekonomi, nilai-nilai ekonomi syariah yang dipraktekan dalam transaksi dihapkan mampu disampaikan kepada pihak lain.
5)       Istiqomah adalah faktor penting yang perlu dilakukan, karena tidak semua bisnis akan berjalan dengan mudah dan pencapaiannya diraih dalam waktu singkat, maka perlu ada keistiqomahan dalam mengusahakan bisnis di jalan Allah dengan tetap memegang teguh batasan-batasan sebagaimana diatur dalam ekonomi islam.

Dengan pengembangan edupreneur yang mengidentifikasi permasalahan fundamental yang terjadi di masyarakat terkait kemandegan kemandirian ekonomi kelompok tundaya di panti asuhan ini, diharapkan setiap individu mampu mengembangkan kapasitas dirinya terutama dalam hal-hal berikut ini:
1)      Memperoleh gambaran yang jelas mengenai konsep kewirausahaan dan mendorong keinginan untuk berwirausaha karena termotivasi oleh para “syariah extention worker” dari kalangan mahasiswa yang diberdayakan untuk menjadi pendamping dalam progam ini.
2)      Pemahaman dan keterampilan berwirausaha terasah dengan berbagai program pelatihan maupun pendidikan dan simulasi-simulasi bisnis yang diarahkan langsung oleh pendamping
3)      Keuletan, keberanian menghadapi resiko, dan sikap mental berwirausaha yang selama ini belum mampu dimaksimalkan dalam setiap program pemberdayaan sebelumnya yang diusung pemerintah, diharapkan mampu terbangun melalui program I-SIEMENT ini, karenpa sharing bisnis yang disampaikan berasal dari sumber relevan yang sudah kompeten dalam dunia bisnis, bukan hanya pendeskripsian teoritis saja.

Sedangkan andil bagi kolektif, dalam hal ini seluruh elemen panti asuhan adalah sebagai berikut:
1)      Mengubah paradigma bahwa keberlangsungan finansial panti asuhan tidak harus selalu bergantung dari donator dan lembaga keagamaan, namun bisa diusahakan melalui kegiatan kewirausahaan
2)      Waktu luang di panti asuhan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif dan tidak hanya terbatas pada keigatan keagamaan aja
3)      Mendorong panti asuhan untuk mandiri dan memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar
4)      Menciptakan SDI yang kompeten dalam ekonomi syariah meskipun tanpa melalui proses pendidikan formal

4.2   Sintesis

4.2.1        Implementasi program I-SIEMENT
Pembangunan sektor perekonomian melalui program I-SIEMENT pada dasarnya mengusung  konsep syariah yang sejalan dengan tujuan tersebut dan sesuai pula dengan jati diri bangsa (pancasila) yaitu pencapaian kesejahteraan yang nyata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat.
 Bentuk dari program ini adalah pendidikan kewirausahaan yang sinergis dengan melibatkan para entrepreneur muda dari kalangan mahasiswa, setelah ditanamkan urgensi berwirausaha lalu anak-anak binaan panti asuhan kemudian ditempakan pada inkubator bisnis dengan produk baik berupa barang ataupun jasa yang diproduksi para mahasiswa yang bertindak sebagai extention worker (penyuluh sukarela) tersebut dengan sistem komisi. Sehingga kedua belah pihak baik anak-anak binaan maupun mahasiswa yang terlibat sama-sama diuntungkan, di satu sisi biaya atau upah penyuluh dapat diminimalisir, di sisi lain anak-anak binaan ini pun dapat melakukan praktek kewirausahaan secara langsung memulainya sebagai agen/reseller tanpa perlu terhambat dengan proses produksi barang yang rumit dan membutuhkan waktu lama.
Untuk menambah kebermanfaatannya, maka dibentuklah suatu inkubator yang real di panti asuhan tersebut berupa BMT, sehingga dana yang terhimpun dapat dialokasikan dan digulirkan untuk membantu usaha masyarkat yang berdomisili di sekitar panti asuhan. Sehingga kedepannya, panti asuhan tersebut mampu mandiri, tidak lagi dianggap sebagai lembaga sosial yang dependen, hanya bergantung pada uluran tangan donator.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM No. 81.3/Kep/M.KUKM/VIII/2002, inkubator adalah lembaga yang bergerak dalam bidang penyediaan fasilitas dan pengembangan usaha, baik manajemen maupun teknologi bagi Usaha Kecil dan Menengah untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usahanya dan atau pengembangan produk baru agar dapat berkembang menjadi wirausaha yang tangguh dan atau produk baru yang berdaya saing dalam jangka waktu tertentu
 Kenyataan bahwa 99% panti asuhan berdiri dibawah naungan lembaga keagamaan dengan pengurus atau pengelola panti asuhan pun direkrut dari lembaga yang sama justru memberikan peluang tersendiri. Dengan dasar syariah yang sudah cukup kuat, SDM yang ada tersebut dapat diberi pendidikan dengan lebih mudah mengenai teknis pelaksanaan BMT di lingkungan panti asuhan. Sehingga para pengelola pun diarahkan untuk lebih produktif, selain bertugas sebagai pengelola panti asuhan, kedepan mereka pun diarahkan sebagai pengelola BMT yang cakupannya sampai kepada masyarakat sekitar.



Guna mencapai keberhasilan program I-SIEMENT ini, salah satu indikator yang harus dipenuhi adalah pengintegrasian tiga unsur yang dominan dalam mempengaruhi perkembangan suatu negara, yaitu akademisi (academician), pengusaha (bussinessment), dan pemerintah (government). Setiap unsur bergerak secara terintegrasi sesuai dengan tugas dan fungsinya (tupoksi) masing masing.

Gambar 4.2.1 Skema Integreted Syariah Edupreneurship Empowerment
Pemerintah  pusat dan DEPSOS
1.        Koordinasi dengan MES
2.        Alokasi APBN
3.        Reward dan Kontrol



Text Box: Pemerintah  pusat dan DEPSOS
1. Koordinasi dengan MES 
2. Alokasi APBN
3. Reward dan Kontrol
Pengusaha :
1.     Investasi
2.     CSR

Text Box: Pengusaha :
1. Investasi
2. CSR

Sumber dana
Text Box: Sumber dana


Dibina oleh M
 
Dibina oleh M
 
Pemerintah  kota/daerah:
1.     Pendirian BMT
2.     Penghimpunan mitra usaha
3.     Placement extention worker




Text Box: Pemerintah  kota/daerah:
1. Pendirian BMT
2. Penghimpunan mitra usaha
3. Placement extention worker


Akademisi :
1.     Sharing product
2.    Good Entrepreneur Practice


Text Box: Akademisi :
1. Sharing product
2. Good Entrepreneur Practice
PANTI ASUHAN
Isosceles Triangle: PANTI ASUHAN
MES
1. Syariah Extention Worker
Text Box: MES 
1. Syariah Extention Worker

BMT
Text Box: BMT




QUALITY
SERVICE
Text Box: QUALITY
SERVICE
QUALITY
RESOURCE
Text Box: QUALITY
RESOURCE
QUALITY
PRODUCT
Text Box: QUALITY
PRODUCT




Kontribusi ke masyarakat
Text Box: Kontribusi ke masyarakat


A. Teknik Implementasi Roundmap I-SIEMENT

Berdasarkan model di atas, tahapan-tahapan implementasinya yaitu:
Pemerintah Pusat:
a.    Ditetapkannya suatu political will untuk penerapan program I-SIEMENT
b.    Pemerintah mengadakan koordinasi dengan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) untuk mengalokasikan SDI yang nantinya akan ditempatkan sebagai penyuluh (syariah extention worker) dalam manajemen syariah yang diterapkan di BMT bentukan pemerintah daerah di panti-panti asuhan, sehingga baik di tingkat provinsi maupun kota, terdapat koordinasi antar MES. Serta mengadakan koordinasi dengan pengusaha untuk bersedia menjalin kerja sama  materil guna menghimpun sumber dana yang akan dialokasikan bagi pemberdayaan petani.
c.    Sosialisasi program ke pemerintah kota dan daerah.
d.   Mengadakan pengontrolan dan program reward sebagai bentuk apresiasi bagi panti asuhan yang sudah mampu mandiri.

Pemerintah Daerah:
a.    Mendirikan atau memberdayakan kembali BMT yang sebelumnya sudah ada di masyarakat, menyeleksi tenaga pembimbing professional untuk membantu proses pendidikan calon penguru BMT di panti asuhan.
b.    Membantu proses legalisasi dan serangkaian birokrasi yang perlu dilakukan untuk melakukan pendirian BMT
c.    Menghimpun mitra usaha yang mampu mempeluas jangkauan produk hasil olah BMT dan pendamping program.
d.   Menghimpun dan melakukan penempatan guna mengintegrasi extention worker dari MES untuk membina BMT serta extention worker dari kalangan akademisi untuk anak-anak panti asuhan.
e.    Melaporkan perkembangan kegiatan kepada pemerintah pusat.

Pengusaha:
a.    Menginvestasikan sejumlah dana untuk pembiayaan di BMT
b.    Sharing market network dengan para entrepreneur muda yang juga menjadi extention worker dari kalangan mahasiswa, sehingga baik mahasiswa maupun anak-anak binaan di panti asuhan terpacu kreativitasnya untuk menciptakan produk berdaya saing tinggi.
c.    Menghimpun produk terpilih yang untuk kemudian dibantu proses marketingnya.
d.   Melakukan CSR dalam bentuk bantuan materil atau non materil lainnya dalm mendorong peningkatan keterampilan bisnis.

Akademisi :
a.    Melakukan pembinaan dalam bentuk transfer ilmu dan keterampilan berwirausaha dengan menghimpun mahasiswa-mahasiswa pilihan dari UKM bisnis seperti HIPMI, UKM ekonomi islam, himpunan mahasiswa untuk membantu pemberdayaan kelompok tunadaya di panti asuhan.
b.     Transfer teknologi dalam manajemen bisnis mikro
c.    Membangun kemitraan dengan anak-anak binaan di panti asuhan dengan cara melibatkan mereka dalam proses marketing produk yang menjadi komoditi bisnis para mahasiswa.


BMT Panti Asuhan :
a.    Mengimplementasikan hasil pembinaan dan mensosialisasikan program BMT kepada jajaran lembaga keagamaan  yang menaunginya serta pada masyarkat sekitar sehingga kemungkinan modal yang terkumpul lebih besar.
b.    Memberdayakan BMT sebagai sarana inkubator bisnis dengan menjalankan prinsip Simpanan Mudharabah yaitu anggota dapat menyimpan dananya dengan akad mudharabah  mutlaqah dimana BMT diberi kekuasaaan penuh mengelola dana dimaksud. Keuntungan dari pengelolaan dana ini dibagi hasilkan dengan anggota.
c.    Merancang sistem asuransi syariah yang baik bagi anggota terutama anak-anak binaan untuk mengantisipasi resiko yang mungkin dialami oleh mereka ketika sudah tidak lagi dibina di panti asuhan (bersifat sukarela)
d.   Menghimpun produk bisnis dari anggota yang kemudian diaporkan kepada pemerintah daerah untuk disalurkan pada market network yang disediakan mitra usaha.
e.    Membuat laporan yang dipertanggungjawabkan kepada pemerintah daerah dan investor.

BMT yang sudah mapan  :
Membantu pelatihan kemampuan manajemen bagi calon pengurus BMT di panti asuhan, metode yang bisa dipilih antara lain pelatihan langsung sebagaimana dilakukan oleh MES ataupun sistem megang dan transfer pengurus sementara.

Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)
Mengkoordinasikan program hingga ke MES tingkat kota sehingga dapat dialokasikan kebutuhan tenaga pendamping untuk program I-SIEMENT tersebut.

B. Model Luaran
a.    Kelompok masyarakat tunadaya yaitu anak-anak binaan di panti asuhan memiliki jiwa berwirausaha syariah yang benar sesuai aturan agama.
b.    Menciptakan keseimbangan antara kemampuan intelektual dengan keterampilan berwirausaha sebagai langkah antisipasi minimnya lapangan kerja yang tersedia.
c.    Mengembangkan pola pengasuhan interaktif di panti asuhan yang tidak terbatas pada kegiatan spiritual saja sehingga secara efektif mampu menciptakan sumber daya insani yang siap terjun kemasyarakat ketika masa pembinaan mereka di panti asuhan sudah berakhir.
d.   Menegaskan keberadaan panti asuhan sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mandiri, tidak lagi menjadi beban yang bergantung pada uluran tangan donator.


BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

1.    Keterlibatan andil pemerintah dalam mengelola anak-anak terlantar yang tunadaya di panti asuhan masih sangat rendah, dengan tingkat partisipasi hanya 1:99 dibandingkan dengan peran organisasi keagamaan dan masyarakat umum. Dalam menanggapi tantangan ekonomi syariah yang sedang digandrungi di negeri ini pun, kelompok masyarakat tunadaya ini belum mendapat perhatian serius terkait pengembangan potensi di bidang pendidikan dan kewirausahaan yang sebenarnya sangat mereka butuhkan guna membangun kemandirian dan menghilangkan anggapan bahwa selama ini keberadaan mereka hanya menjadi beban di dalam masyarakat.
2.    Program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah melalui KUBE sudah cukup efektif namun tetap belum mampu menjangkau masyarakat tunadaya sebagaimana yang terdapat di panti asuhan secara optimal, hal ini diindikasikan karena fokus perhatian masih tertuju pada pengembangan usaha mikro bagi masyarakat, bukan pemberdayaan ekonomi bagi anak-anak terlantar dan tunadaya di lembaga swadaya masyarakat termasuk panti asuhan.
3.    Peran stakeholder diluar pemerintah masih belum terintegrasi sehingga dalam upaya pemberdayaan kelompok tunadaya pun hanya bergerak masing-masing. Kurangnya penyuluh kompeten dari segi kualitas dan kuantitas serta masih terdapatnya unsur ribawi menjadi penghambat tersendiri.
4.    Program Integreted Syariah Edupreneur Empowerment (I-SIEMENT) aadalah solusi tepat mengingat konsep integrasi yang melibatkan 3 elemen yaitu pemerintah, swasta dan akademisi dapat menjawab keterbatasan SDI dan sumber daya modal yang dimiliki pemerintah dalam memberdayakan kelompok masyrakat tunadaya, khusunya bagi mereka yang tinggal di panti asuhan sehingga keberadaan mereka tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat, dengan bekal kemandirian yang terbentuk, justru keberadaan mereka memberikan kontribusi dalam mengembangkan perekenomian masyarkat.

5.2 Saran

1.    Meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi rakyat harus dimulai dengan pembinaan serius di lini bawah secara rill, bukan lagi dengan penetapan kebijakan yang praktis dan parsial dari lini atas.
2.    Kompetensi sumber daya insani harus benar-benar digarap dengan tanpa menegasikan potensi dari kelompok maysarakat tunadaya yang selama ini dianggap menjadi beban, karena sebenarnya kaum pemuda dip anti asuhan pun memilki potensi besar jika dibina dengan baik.
Integrasi antar pemerintah, swasta dan akademisi harus terus ditingkatkan sehingga peran nyata yang aktif dapat diraskan oleh masyarakat luas