BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini ekonomi syariah semakin menunjukkan eksistensinya, mulai dari
perlembagaan keuangan syariah, institusi pendidikan dalam hal ini perguruan
tinggi pun berbondong-bondong membuka prodi baru dengan titel ekonomi islamnya.
Bahkan semakin lumrah jika akhir-akhir ini konsep ekonomi syariah sudah banyak
yang dipraktekan di lembaga pendidikan sekelas pesantren, yaitu melalui
kegiatan wirausaha berbasis syariah bagi para santrinya.
Namun masih sangat disayangkan, yang sering kali luput dari perhatian
mayoritas kita adalah kenyataan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang
sulit mendapatkan akses pendidikan. Jangankan untuk mendapatkan akses
pendidikan kewirausahaan dan pembinaan keterampilan lainnya, untuk akses
pendidikan formal pun masih terengah. Mereka adalah kelompok masyarakat
tunadaya, kelompok rentan penyandang masalah sosial yang memiliki
keterbatasan secara ekonomi, yang pada akhirnya demi menjamin terpenuhinya
kebutuhan pendidikan kemudian menjadikan panti asuhan sebagai lembaga yang
dipercaya oleh keluarga untuk mendidik putra-putri mereka, meskipun hal ini
sedikit menantang konsep dasar peruntukan dari pembentukan panti asuhan itu
sendiri yang semestinya menampung anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua
sama sekali (yatim piatu).
Praktek ini sudah berlangsung
sedemikian lama sehingga sangat wajar jika berdasarkan penelitian DINSOS RI dan
asosiasi bernama Save The Children Indonesia,
jumlah panti asuhan di Indonesia mencapai lebih dari 8000, dengan catatan bahwa
jumlah ini yang terdaftar di lembaga sosial, data sebenarnya bisa mencapai
15.000 panti asuhan dengan jumlah anak-anak binaan lebih dari 50.000 orang yang
dengan angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah panti
asuhan terbanyak di dunia.
Sebuah ironi, meski UUD 1945 dengan jelas menegaskan bahwa hak memperoleh
pendidikan yang layak dapat dinikmati setiap masyarakat tanpa kecuali, dalam pasal
27 dan 34 UUD 1945 pun ditegakan bahwa
pemerintah bertanggung jawab
terhadap pembangunan kesejahteraan sosial, namun kenyataan berkata sebaliknya. Kerangka perekonomian negeri ini
secara analogi sejatinya membentuk piramida dengan komposisi rakyat miskin
masih mendominasi di lini bawah. Ekonomi syariah dengan sifat dasar yang
universal nyatanya belum mampu menyentuh kelompok masyarakat rendah, termasuk
kelompok tunadaya yang tersebar di panti asuhan yang selama ini memang sering
luput dari perhatian para penggagas ekonomi islam sebagaimana diakui oleh
Syafii Antoio, salah satu pakar ekonomi islam Indonesia. Maka seyogyanya haluan
penyediaan akses sosialisasi dan pendidikan ekonomi islam lebih diperluas,
tidak hanya berkutat di lembaga keuangan serta lembaga pendidikan formal saja.
Kemajuan
pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan penyandang masalah
sosial di atas tidak dapat terlayani dengan baik. Banyak asumi bahkan
mengatakan jika para penyandang masalah sosial
tersebut tidak terlayani dengan baik, maka makna kemerdekaan bagi mereka hanya
sekedar lepas dari penjajahan, padahal seharunya kemerdekaan mengandung arti
terlepas pula dari keterbelakangan dan kemiskinan.
Lembaga Pelatihan Keterampilan (LPK) yang berfokus pada pendidikan
ekonomi islam sudah banyak berdiri di Indonesia, sebut saja Muamalat Institute,
LPK Tazkia namun kembali perlu ditegaskan bahwa keberadaan LPK tersebut belum
mampu menjangkau kelompok masyarakat tunadaya. Tetap ada cost yang perlu dibayarkan, hal ini menjadi beban tersendiri yang
pada akhirnya tetap menghambat proses ketersediaan akses bagi kelompok
masyarkat tunadaya terebut.
Menyinggung kembali mengenai kelompok masyakat tunadaya, dalam hal ini
mereka yang tinggal di panti asuhan, hasil penlitian DINSOS RI secara
mengejutkan membenarkan keterlibatan organisasi keagamaan dalam pengelolaan
panti asuhan mencapai lebih dari 99% dan 1% lainnya dikelola oleh pemerintah.
sebagai sampel, salah satu panti asuhan
yang penyusun teliti yaitu panti asuhan Kuncup Harapan, beralamat di Jl.
Garunggung Kulon 179, Sukajadi ini berdiri atas prakarsa para pengurus Muhammadiyah.
Sangat disayangkan, pemerintah melalui DINSOS hanya memberikan dana Rp.
850.000/tahun untuk satu orang penghuni panti asuhan, nilai yang sangat kecil
untuk sebuah panti asuhan yang sudah berdiri sejak tahun 1983 ini. Muhammadiyah
sendiri setiap bulannya mengucurkan dana Rp. 30.000.000 untuk biaya operasional
panti asuhan berpenghuni kurang lebih 35 orang itu setiap bulannya. Sungguh
perbandingan yang sangat tidak seimbang antara peran pemerintah dengan masyarakat.
Dengan menyoroti problema yang dialami oleh kelompok masyarakat tunadaya
di panti asuhan tersebut, nampaknya perlu upaya yang lebih serius. Dengan
pertimbangan kurikulum yang diterapkan di SMA/sederajat, SMP, apalagi SD masih
belum secara tegas mengadopsi nilai-nilai ekonomi syariah serta kebertumpuan pendidikan
ekonomi syariah masih berorientasi pada perguruan tinggi, yang itupun terbatas oleh
titel fakultas ekonomi, prodi maupun UKM bersangkutan saja, maka usaha
pemberdayaan yang lebih konkret jelas dibutuhkan, karena jika hanya
mengandalkan akses pendidikan formal, selamanya kelompok tunadaya ini akan
terus bergelut dengan problema ketersediaan dana.
Minimnya akes
pendidikan formal dan program pendidikan kewirausahaan bagi kelompok tunadaya
akhirnya memunculkan kekhawatiran akan semakin tertinggalnya pemahaman
intelektual maupun keterasahan softskill mereka,
padahal seiring perkembangannya, Indonesia dituntut memenuhi kebutuhan SDI
ekonomi syariah yang mempuni. Tanpa pemberdayaan yang baik, besar kemungkinan
secara alamiah kelompok tunadaya dengan kelas ekonomi rendah ini akan terarah
menjadi semakin tidak produktif ditengarai berbagai keterbatasan yang mereka
miliki. Dengan tingkat pendidikan kelompok tunadaya di panti asuhan yang
rata-rata berkisar antara SD sampai SMA, akibat lebih lanjut yang perlu
diantisipasi adalah meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Pada tingkat
provinsi pun, angka pengangguran ini sudah tinggi, sebagaimana dilaporkan dalam
Berita Resmi Statistik BPS Jawa Barat No.
25/05/32/Th. XV, 6 Mei 2013 sebagai berikut:

Pendidikan kewirausahaan dan pembentukan
inkubator bisnis adalah cara yang bisa ditempuh untuk mengembangkan keterampilan
kelompok tunadaya ini, terlebih dengan jumlah penduduk sebanyak 238 juta (versi
sementara BPS), nyatanya komposisi entrepreneur
Indonesia baru berkisar 1,65%
Menanggapi hal
ini, pemerintah tidak sepenuhnya lepas tangan, kebijakan pemberdayaan
masyarakat ekonomi rendah sebelumnya melalui KUBE (kelompok usaha bersama)
pernah digencarkan. Program ini juga menggagas pemberdayaan masyarakat tunadaya
melalui pembentukan KUBE anak terlantar, KUBE fakir mikin, KUBE masyarakat
terasing, KUBE penyandang cacat dan KUBE keluarga muda mandiri. Sayangnya, program ini masih sarat dengan
praktek ribawi berupa bunga yang harus dibayar masyarakat dalam pembayaran
angsuran modal pinjaman dari program KUBE tersebut, sama halnya dengan grameen bank yang juga marak
perkembangannya di masyarakat dalam upaya memberikan kemudahan akses permodalan
bagi usaha mikro di Indonesia.
Kalangan terdidik dari perguruan tinggi atau
perusahaan pun lebih cenderung memberikan bantuan secara insidental, tanpa ada
proses pendidikan berkelanjutan. Maka melalui program I-SIEMENT, diharapkan pemerintah, pengusaha dan akademisi dapat
saling bersinergi dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat tunadaya
ini.
Berangkat dari berbagai permasalahan
tersebut, penyusun mengangkat penelitian dengan judul ”Integrated
Syariah Edupreneurship Empowerment (I-SIEMENT) :Pemberdayaan Kelompok
Masyarakat Tunadaya Di Panti Asuhan Melalui Pendidikan Kewirausahaan Berbasis
Syariah”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana perkembangan dan kendala pemberdayaan
masyarakat ekonomi rendah di Indonesia ?
2.
Bagaimana kewirausahaan syariah mampu meningkatkan
kapasitas pribadi dan kolektif kelompok masyarakat tunadaya menjadi Sumber Daya
Insani kompeten?
3.
Bagaimana penerapan program I-SIEMENT
bagi kelompok tunadaya di panti asuhan dalam mencetak SDI handal?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.
Menjelaskan mengenai perkembangan dan
kendala pemberdayaan masyarakat ekonomi rendah di Indonesia.
2.
Menjelaskan tentang konsep kewirausahaan
syariah dalam meningkatkan kapasitas pribadi dan kolektif kelompok masyarakat
tunadaya menjadi Sumber Daya Insani kompeten
3.
Menjelaskan bagaimana penerapan program
I-SIEMENT bagi kelompok tunadaya di panti asuhan dalam mencetak SDI handal.
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai
tambahan referensi terkait pengembangan opsi solutif dalam mengatasi
permasalahan ekonomi masyarakat kelas rendah dan memberikan gambaran tentang
bagaimana meningkatkan peran secara aktif dalam mengaktualiasasikan ilmu
pengetahuan menjadi sumbangsis yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.
Bagi masyarakat, dapat memberikan
tambahan informasi terkait permasalahan di sektor ekonomi yang pada akhirnya
akan menumbuhkan kesadaran untuk mengembangkan kapasitas diri meski ditengah
keterbatasan.
3.
Bagi pelaku bisnis, dapat menjadi
masukan bagi pengembangan program company
social responsibility berupa pemberdayaan kelompok tunadaya yang
berkelanjutan.
4.
Bagi pemerintah, sebagai salah satu
masukan untuk merumuskan kebijakan yang relevan dan menyeluruh dalam memperbaiki sistem pemberdayaan masyarakat
yang benar-benar mampu menyentuh kalangan terendah yang sangat minim akses di
masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSATKA
2.1 Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Model
pemberdayaan ini menjadi penting untuk dibahas karena melalui landscape inilah akan ditentukan arah
pengelolaan sumber daya manusia yang lebih lanjut diharapkan mampu memenuhi
standar serta mampu memberikan kontribusi nyata dalam laju pembangunan
perekonomian negara.
Pemberdayaan
merupakan terjemahan dari empowerement,
sedangkan menurut Merriam Webster dan Oxford Engslish Dictionary, memberdayakan
mengandung dua pengertian yaitu : 1) memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan
atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; 2) usaha untuk memberi kemampan
atau kepedayaan.
Menurut
catatan sejarah, konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau
sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 (masa renaissance) meskipun kala itu
konsep pemberdayaan ini masih sangat identik dengan upaya perlawanan atas
determinasi keagamaan. (Efendi Guntur, 2009).Namun seiring perkembangan zaman,
konsep ini pun mulai meluas dan lahir sebagai antithesis terhadap model
pembangaunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada kepentingan
rakyat mayoritas. Kondisi yang tercipta tidak lain adalah dikotomi dimana
masyarakat yang berkuasa memiliki hak lebih terhadap masyarakat lain yang
dikuasai. Untuk terbebas dari kondisi tersebut, maka dilakukanlah proses
pemberdayaan (empowerment of the
powerless).
Dalam
praktek ekonomi, setidaknya ada tiga model pemberdayaan yang terbentuk di
lingkungan masyarakat, yaitu:
Model pertama,
pemberdayaan yang hanya berkutat pada “daun” dan “ranting” atau pemberdayaan
konformis (magical paradigm). Dengan
asumsi bahwa struktur social, struktur ekonomi termasuk segala keadaan yang
melekat pada diri mereka adalah hal yang bersifat given, maka bentuk pemberdayaan yang dilakukan adalah dengan
menyesuaikan dengan kondisi yang sudah given
tersebut. Contoh nyatanya seperti memberdayakan masyarakat tunadaya dengan
pemberian santunan, bantuan modal, sarana pendidika dan lain sebagainya.
Model kedua,
pemberdayaan yang hanya berfokus pada “batang”, dikenal dengan istilah
pemberdayaan refomis (naiive paradigm).
Asumsi pada model kedua ini menganggap bahwa sudah tidak ada masalah lagi
dengan tatanan social, ekonomi, politik dan budaya secara umum, yang menjadi
permasalahan adalah kebijakan operasional dari pemangku kekuasaan. Cara
pemberdayaannya dengan membalikkan haluan dari top down menjadi bottom up
sembari terus memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang
telibat di dalamnya.
Model ketiga,
pemberdayaan yang hanya berkutat pada “akar” atau pemberdayaan structural (critical paradigm). Ketidakberdayaan
masyarakat lemah terhadap struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya
mendorong doktrin untuk menggulingkan pusat kekuasaan atau pihak the powerful. Bentuk pemberdayaan yang
dilakukan misalnya dengan memberikan akses atau memfasilitasi masyarakat lemah
untuk melawan pemerintah, menjadi provokator dalam menentang para pengusaha
serta orang kaya apatis lainnya.
Berdasarkan
uraian konsep pemberdayaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadaan ideal
suatu pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah ketika seluruh lini baik dari
dasar (akar) hingga lini teratas (daun) saling bersinergi mengalami perbaikan.
Dengan beberapa catatan bahwa pemberdayaan ekonomi masayarakat ini tetap
memprioritaskan pemerataan penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan
distribusi dan pemasaran, Penguatan masyarakat untuk mendapatkan upah serta
akses informasi dan pengetahuan yang memadai dengan tetap menyeimbangkan antara
aspek kontribusi masyarakat (hilir) dengan aspek kebijakannya (hulu).
2.2 Edupreneurship dalam perspektif umum dan islam
Sebelum
membahas istilah edupreneur, terlebih
dahulu akan dipaparkan induk dari istilah tersebut yang tidak lain adalah
entrepreneurship. Dalam buku dasar-dasar kewirausahaan (Hendro, 2011) istilah
entrepreneurship diawali oleh Richar Cantillon (1755) yang menyatakan “entrepreneurial is an innovator and
individual developing something unique and new”. Istilah ini kemudian
dipopulerkan oleh seorang ekonom bernama J.B. Say (1803) dengan pernyataannya
yang menyebutkan bahwa kewirausahaan adalah suatu usaha untuk menggambarkan
orang-orang yang mampu mengelola sumber-sumber daya yang dipunyainya secara
ekonomi (efektif dan efisien) dari tingkat produktivitas yang rendah menjadi
lebih tinggi. Litelatur lain mengatakan bahwa kata wirausaha ini berasal dari entrepreneur (bahasa Perancis) yang
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yang berarti between taker atau go-between
atau seorang perantara (Buchari Alma, 2009:22)
Dalam perspektif islam, Al-Qur’an telah
menegaskan semangat kewirausahaan sebagaimana terdapat dalam QS.Al-Jumuah:10 serta
QS.Al-Mulk:15 sebagai berikut:
![]() |
Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS.
Al-Jumuah: 10)

Dialah Yang menjadikan
bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
(QS. Al-Mulk : 15)
Dari
kedua ayat terebut, kesemuanya mengacu pada kesimpulan dimana manusia
diperintahkan untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal untuk menghidupi
dirinya, keluarga serta yang terpenting tetap diniatkan untuk tujuan beribadah
kepada Allah. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasul yang diriwayatkan Imam Ahmad
yakni “Perhatikan olehmu sekalian,
sesungguhnya perdagangan itu di dunia ini adalah sembilan dari sepuluh pintu
rezeki” (HR.Ahmad).
Problema serius yang dihadapi umat (tidak terkecuali umat
islam di Indonesia) dalam masalah ekonomi, adalah kemiskinan. Peran wirausaha
muslim yang menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dicontohnya oleh
Nabi Muhammad SAW dalam mengupayakan pemerataan ekonomi adalah suatu harapan
yang terus dipelihara semangantya, mengingat jumlah mayarakat miskin yang masih
begitu banyak, dan termasuk di dalamnya adalah kaum muslim.
Dewasa
ini, adanya pemahaman mengenai heterogenitas kewirausahaan (entrepreneurship) menyebabkan perluasan
pengembangan penelitian mengenai konsep kewirausahaan tersebut. Istilah technopreneurship yaitu kegiatan usaha
yang dikembangkan oleh mereka yang memanfaaatkan teknologi tinggi tertentu,
serta istilah intrapreneurship yang
merupakan jenis usaha yang berkembang di dalam lingkup perusahaan adalah contoh
bagaimana konsep pemikiran mengenai kewirausahaan sudah bagitu berkembang.
Sama
halnya dengan edupreneurship yang
lahir dari cabang kewirausahaan sosial, dan menginduk pada konsep awal
kewirausahaan. Sebagaimana dijelaskan dalam konsep kewirausahaan (Yoyon, 2006)
bahwa sebagai bidang yang relatif baru berkembang, akan muncul sejumlah
pendapat yang berbeda mengenai apa itu kewirausahaan pendidikan atau edupreneurship dan bagaimana peran dari
seorang edupreneur tersebut.
Sebagai
salah satu perguruan tinggi yang ikut mengembangkan konsep edupreneur tersebut, UPI memiliki panduan tersendiri tentang
deskripsi edupreneur. Pada awalnya,
konsep ini dirumuskan sebagai suatu pembekalan keterampilan kewirausahaan bagi
para calon pendidik, sehingga pada saat terjun ke dunia kerja nanti,
orientasinya bukan hanya bekerja di suatu instansi atau lembaga pendidikan,
namun lebih jauh lagi yaitu mampu menciptakan suatu usaha yang dapat menyerap
tenaga kerja, itulah mengapa seorang entrepreneur
dinilai memiliki nilai vital dalam perkembangan perekonomian suatu negara.
Seiring tuntutan akan sumbangsih akademisi serta peran perguruan tinggi dalam
masyarakat, akhirnya konsep ini diperluas hingga pemahaman akan edupreneur dimaknai melaui tugas
wirausahawan pendidikan yang dijelakan sebagai berikut:
1.
Mengenali adanya kemacetan atau
kemandegan dalam kehidupan masyarakat
2.
Mengidentifikasi elemen yang tidak
berfungsi dalam masyarakat
3.
Menyediakan jalan keluar dengan merubah
atau memperbaharui sistem
4.
Menyebarluaskan pemecahan masalah
tersebut
5.
Meyakinkan masyarakat untuk mau bergerak
lebih progresif menerapkan sistem baru yang dianggap lebih efektif dengan tetap
mempertahankan konsep kewirausahaan, sehingga masyarakat dibentuk untuk
mandiri.
Pada dasarnya islam mengajarkan
bahwa sebaik-baik manusia di muka bumi ialah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya. Maka konsep edupreneur
ini dimaknai sebagai suatu proses mengembangkan jangkauan ilmu bisnis yang
dimiliki seorang wirausaha dengan tetap memperhatikan aspek kebermanfaatan yang
lebih luas tidak hanya bagi dirinya, tapi juga masyarakat sekitar. Nilai-nilai
kewirausahaan sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW melalui model FAST (Fathonah, Amanah, Shiddiq dan Tabligh) ditambah faktor I, yaitu
Istiqomah adalah nilai tambah dalam pengimplementasian konsep edupreneur ini. Konsep edupreneur yang mengarah pada peran kelompok
intelek dalam membangun kemakmuran sosial inilah yang berusaha dikembangkan
oleh penyusun melalui karya tulis ini.
2.3 Program Pemberayaan Ekonomi Kerakyatan di Indonesia
Krisis multidimensional
yang terjadi di Indonesia, setidaknya memberikan pengaruh terhadap tingkat
kemiskinan dan minimnya akses bagi kelompok masyarakat tunadaya. Seringkali
kemiskinan tidak melulu melibatkan permasalahan harta benda yang dimiliki, tapi
juga disebabakan kurangnya kapasitas dan kesempatan untuk mengembangkan
kegiatan usaha yang produktif. Untuk meminimalisir dampak tersebut, di
Indonesia sudah banyak BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan lembaga keuangan lain
yang merepleksi sistem Grameen Bank
sebagaimana yang pernah dipraktekan di Bangladesh oleh penggagasnya yaitu
Profesor Muhmmad Yunus dengan mengubah konsep semula yakni masyarakat yang
mendatangi bank untuk mengakses modal, menjadi bank yang menghampiri
masyarakat. Namun dalam prakteknya, belum ada usaha untuk benar-benar
menjangkau kelompok masyarkat tunadaya seperti yang terdapat di panti asuhan,
jangkauan ini baru meliputi usaha-usaha mikro di pedesaan.
Departemen sosial
(Depsos) pun merespon permasalahan tersebut dengan suatu proyek yang dinamakan
KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dengan konsep yang tidak begitu jauh berbeda
dengan sistem Grameen Bank.
Keterujian dan kehandalan
program ini digadang-gadang telah banyak terbukti secara akademis terutama
dalam pengembangan berbagai disertasi oleh para pakar bergelar doctor di bidang
ilmu ekonomi, melalui berbagai penelitian aparatur pemerintah dibawah naungan
Depsos, serta seminar-seminar baik tertutup maupun terbuka. Berikut adalah
kerangka berfikir program KUBE yang dijelaskan Dr. Effendi M. Guntur, SE dalam
bukunya yang berjudul Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, 2009 :
a. Pengertian
Kelompok
usaha bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang
dibentuk oleh warga dan telah dibina sebelumnya oleh Depsos untuk melaksanakan
kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan
untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya.
b. Tujuan dan sasaran
Tujuan
KUBE diarahkan kepada upaya pengentasan kemiskinan melalui: 1) peningkatan
kemampuan wirausaha para anggota KUBE; 2) peningkatan pendapatan; 3)
pengembangan usaha; 4) peningkatan kepedulian sosial diantara anggota KUBE dan
masyarakat sekitar. Sasaran KUBE sebagaimana yang diarahkan oleh program kerja
departemen sosial masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan rincian
: 1) keluarga fakir miskin; 2) Kelompok masyarakat terasing; 3) Penyandang
cacat; 4) Kelompok lanjut
c. Organisasi dan manajemen
Dalam
hal kepengurusan KUBE, pada hakekatnya dibentuk dari, oleh, dan untuk anggota
kelompok yang berkeinginan dan memiliki kualitas diri untuk kesediaan mengabdi,
rasa keterpanggilan, dan yang terpenting memiliki kemampuan dan pengalaman.
Untuk
keanggotaan, jumlahnya terdiri atas 5 sampai 10 orang atau 10 kepala keluarga
sesuai kelompok sasaran, seperti sudah dijelaskan pada poin sebelumnya.
d.
Mekanisme
pelaksanaan
Dalam
prakteknya, KUBE melibatkan banyak instansi pemerintah di berbagai tingkatan. Di
tingkat nasional Depsos memegang tanggung jawab penuh atas keterlaksanaan
proyek. Di tingkat provinsi, gubernur bertanggung jawab merancang operasional
proyek dan pemantauan, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, walikota
bertanggung jawab atas alokasi dana bagi masing-masing lokasi sasaran.
Sedangkan agen mitra bertanggung jawab memastikan proyek berjalan dengan
indikator diterimanya pinjaman modal usaha oleh masyarakat miskin. Berikut
adalah skemanya:
(1)
Dept. Keuangan
|
DEPSOS
|
Dirjen Bidang Keamanan Dan Bantuan
Sosial
|
KUBE/LKM
|
Penerima manfaat
|
BRI
PUSAT
|
BRI. Cabang Kabupaten
|


(2)
(3) pembukaan
rekening
(5) pembukaan
rekening (4)
Gambar
2.3.1 Mekanisme
pendaan KUBE (6)
sumber: Departemen Sosial
Kritik atas program yang dicanangkan pemerintah sejak
tahun 2005 (Tahun KUBE Indonesia) ini pun mulai menyeruak, kompleksifitas
keterlibatan stakeholder mulai dari
instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan, asosiasi
usaha dan pembiayaan tenaga penyuluh eskitu maupun inskitu dalam program ini menguras anggaran yang tidak
sedikit untuk biaya operasional. Permasahalan lain yang muncul dalam
penyelenggaraan KUBE ini antara lain:
1)
Adanya Indikasi
kebocoran dana akibat kompleksifitas program
2)
Besaran bunga
pinjaman yang memberatkan masyarakat dan masih saratnya unsur ribawi karena
bank yang ditunjuk sebagai penyalur dana adalah bank konvensional
3)
Persyaratan
administratif dan ketentuan bankable yang
masih sulit dipenuhi oleh masyarakat
4)
Keterjangkauan
KUBE yang belum merata
2.4 Manajemen Bisnis Syariah
Bagi
seorang muslim, memberantas kemiskinan memiliki nilai ibadah sosial, dan
kewajiban yang menyangkut nilai dan bobot keagamaan seseorang. Agama islam
diturunkan untuk menuntun manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam
muamalah, yang dalam hal ini lebih dispesifikan dalam lingkup bisnis. Islam
mengenal istilah syariah yang didalamnya terkandung seperangkat “do’s and don’ts” apa yang diperbolehkan
dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Kaitannya dengan ekonomi, bahwa dengan
menerapkan syariah tersebut dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, ada tujuan
yang hendak dicapai yaitu memajukan kesejahteraan manusia yang terletak pada jaminan atas keyakinan, intelektual,
harta dan masa depan masyarakat. Berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis yang
selama ini dianut yang secara jelas menegasikan kelompok ekonomi rendah dan
mengokohkan kedudukan kelompok ekonomi skala besar dengan segala kemampuannya
dalam menguasai sumber daya.
(Ali
Hasan, 2009) menjelaskan bahwa dalam menjalankan bisnis berlandaskan syariah,
maka aktivitas bisnis perlu dikelola dengan baik mengacu pada Al-quran dan
hadist serta ketetapan muamalah lainnya. Membangun bisnis entrepreneurship syariah merupakan suatu upaya untuk mengelola
kombinasi antara sumber daya mausia, sumber daya alam, modal (finance) dan
teknologi dengan cara yang halal untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai
(value), sehingga keuntungan yang
diperoleh akan berkah meskipun tetap bergandengan dengan resiko usaha tertentu
yang lazim timbul saat menjalankan bisnis.
![]() |
Gambar
2.4.1 Bussiness Building
Ajaran islam sejatinya harus terus menjadi landasan kukuh
dalam 1) memantapkan hati nurani umat islam bahwa apa yang dikerjakan secara
moral dari segi keimanan adalah benar, 2) dalam motivasi kerja dan sumber
inspirasi untuk melahirkan prakarsa dan kreativitas dalam usaha untuk mencapai
kebahagiaan dunia akhirat, 3) menjadi kendali dalam membangun dan menjalankan
bisnis, menetapkan target-target bisnis yang ingin dicapai seperti :
1.
Hasil (profit) baik materi non materi
yang memberika manfaat baik internal maupun eksternal terhadap persaudaraan,
silaturrahmi, kepedulian sosial islam, membuka kesempatan kerja dan yang paling
penting hasil tersebut halal untuk dipergunakan dan cara mendapatkannya bukan
pula dengan menghalalkan segala cara.
2.
Menciptakan pertumbuhan (growth), artinya mengembangkan bisnis
secara terus menerus dengan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, serta
dengan meningkatkan investasi syariah berupa zakat, infak dan sadakah.
3.
Menjaga keberlangsungan (sustainable), orientasi bisnis yang
benar adalah adanya keberlangsungan jangka panjang. Manajemen dalam bisnis
hanya sebagai alat, sedangkan keberlangsungan usaha tergantung dari seberapa
konsistenkan tekad wirausaha tersebut dalam membangun bisnisnya yang mengikuti
syariah Allah
4. Keberkahan,
hal ini merupakan faktor penting dalam bisnis syariah. Meski tidak muncul dan
sukses dalam waktu singkat, namun yang terpenting adalah kebutuhan dan
kewajiban wirausaha terhadap bawahan serta lingkungan sekitarnya tetap
terperhatikan. Ini lebih baik dari pada bisnis yang dengan mudah melejit, namun
karena hilangnya keberkahan atas hak-hak bawahan yang tidak tepenuhi, pada
akhirnyaakan membuat bisnis hancur dengan sendirinya.
Terkait dengan pembiayaan bisnis, maka modal merupakan
hal penting yang perlu dipenuhi, salah satu cara yang lazim dilakukan ialah dengan
melakukan pinjaman modal dari lembaga keuangan. Dalam islam, lembaga keuangan syariah
dan BMT memegang peranan penting dalam proses penyediaan modal ini. Penyediaan modal
berupa uang didasarkan atas kesepakatan antara lembaga keuangan dengan pihak kedua
yaitu nasabah atau pihak pengelola modal yang dikenakan kewajiban untuk
mengembalikan uang tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan berupa
bagi hasil, bukan bunga pinjaman seperti yang diberlakukan pada bank atau
lembaga keuangan konvensional dalam pemberian loan.
Dengan menggunakan prinsip syariah, bentuk
pembiayaan yang bisa diberikan untuk menopang kegiatan usaha mengacu pada dua jenis akad, yaitu tijarah dan syirkah sebagai
berikut:
1)
Akad tijarah (jual beli), yakni suatu perjanjian
pembiayaan yang disepakati
antara bmt dengan anggota dimana bmt menyediakan dananya untuk sebuah investasi
dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya
dilakukan secara mencicil pada saat jatuh tempo pengembalian.
2)
Akad syirkah (penyertaan dan bagi hasil)
a)
Prinsip bagi hasil (mudarabah).
Mudharabah yaitu jenis pembiayaan dimana bank dapat menyediakan pembiayaan
modal investasi atau modal kerja hingga 100%, sedangkan nasabah menyediakan
usaha manajemennya, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama dalam bentuk nisbah
(prosentase) dari keuntungan.
b)
Prinsip penyertaan modal (musyarakah).
Musyarakah adalah pembiayaan sebagian (50%) dari modal usaha keseluruhan,
dalam jenis pembiayaan ini bank dapat dilibatkan dalam proses manajemen.
Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian yang disepakati.
Baitul Maal Wat Tamil sendiri
secara konseptual memiliki dua fungsi utama yaitu baitul maal dan baitul tamwil.
Secara harfiah, fungsi baitul maal
tersebut menyangkut kegiatan dalam menerima titipan dana ZIS (zakat, infak,
shadaqah) untuk kemudaian dioptimalkan penditribusiannya. Sedangkan fungsi baitul tamwil
mencakup kegiatan pengembangan dana untuk usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha mikro. Menurut Hosen dan Hasan Ali dalam (Buchari
Alma, 2009) BMT sendiri merupakan lembaga keuangan mikro yang dioperasikan
dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan usaha mikro dalam rangka
mengangkat erajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin,
ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh tokoh masyarakat setempat
dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan, kedamaian,
dan kesejahteraaan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian
ini merupakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) karena
penelitian yang dilakukan hanya sebatas mendeskripsikan fenomena - fenomena
yang terjadi di sekitar obyek penelitian. (Muhammad Teguh,1999: 17).
3.2 Teknik dan Prosedur Penulisan
Teknik
penulisan dari karya tulis ini dilakukan dengan mengumpulkan, mengidentifikasinya menjadi data utama dan
data tambahan, kemudian dieksplorasi dengan melakukan metode diskusi bersama
pihak-pihak terkait untuk mempekuat analisis sehingga mampu memberikan
deskripsi mengenai masalah yang secara tepat. Karena karya tulis ini disusun
dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif dan pendekatan kualitatif, maka
teknik penulisan karya tulis ini pun menggunakan teknik penulisan yang
berkarakter kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan, dan merangkai
variabel-variabel yang diteliti menjadi rangkaian kata-kata yang padu dalam
setiap bagian pembahasan. Prosedur dan sistematika penulisan karya tulis ini
berdasarkan pada pedoman umum lomba karya tulis nasional Syariah Economic Education (SEEd) 2014.
3.3 Jenis Data dan Analisis Data
Jenis
data yang digunakan dalam karya tulis ini adalah jenis data kualitatif. Adapun
sumber data – data ini diperoleh data sekunder yakni digali dari hasil olahan
pihak kedua dengan media antara lain buku, majalah, artikel, jurnal penelitian
serta media elektronik yang relevan dengan permasalahan.
Setelah
data terkumpul, selanjutnya diikuti dengan kegiatan pengolahan data (data
processing). Data yang relevan akan digunakan sebagai rujukan
dalampembahasan. Setelah proses pengolahan data, berikutnya adalah menganalisis
datadan menginterpretasikannya. Analisis data dilakukan secara berlanjut,
berulang dan kontiunitas yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data,
reduksi data, penyajian data, dan terakhir yaitu penarikan kesimpulan.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis
4.1.1
Perkembangan Dan Kendala Pemberdayaan
Masyarakat Ekonomi Rendah Di Indonesia
Perkembangan
trend positif ekonomi syariah memberikan berbagai tantangan dalam penerapannya,
terlebih dengan sistem ekonomi kapitalis yang sudah mengakar sebelumnya di
Indonesia. Usaha transformasi perekonomian suatu negara pasti akan terjadi,
mengingat semakin ketatnya persaingan global dan terpaan krisis yang senantiasa
mengintainya. Mengarah kepada kemajuan atau justru ketertinggalan bahkan
kehancuran suatu ekonomi tersebut sangat tergantung pada kekuatan masyarakat
dalam merespon tuntutan-tuntutan tersebut.
Perekonomian
dunia memiliki siklusnya tersendiri, Indonesia yang berada dalam pusaran siklus
tersebut dihadapkan pada tantangan Asean Economic Community (AEC) sekaligus
juga pada persoalan minimnya SDI yang kompeten ditengah masih tingginya tingkat
pengangguran di kelangan pemuda yang sejatinya sangat diharapkan kontribusinya
bagi pembangunan ekonomi Indonesia, serta masih tingginya jumlah masyarakat
penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti yang dilaporkan oleh departemen
sosial berikut ini:
![]() |
Ketelibatan
pemerintah dalam melakukan pemberdayaan ekonomi, bagi kalangan mayarakat
ekonomi rendah yang selama ini difokukan pada 5 poin pemberdayaan yakni 1)
bantuan modal bergulir, 2) bantuan pembangunan prasarana, 3) pengembangan
kelembagaan lokal, 4) penguatan dan pembangunan kemitraan usaha, dan 5)
fasilitasi pendampingan eskitu nyatanya belum mampu menjangkau kelompok
masyarakat tunadaya yang rentan ini, apalagi bagi anak-anak tunadaya di panti
asuhan. Fokus pemerintah lebih mengarah pada pengembangan masyarakat melalui
kegiatan usaha mikro sedangkan kelompok tunadaya di panti asuhan yang
menghimpun anak-anak terlantar dan miskin dikesampingkan kepentingannya. Dengan
tingkat partisipasi pemerintah dalam pengelolaan panti asuhan yang hanya 1%
sedangkan 99% sisanya dikelola langsung oleh lembaga keagamaan dan masyarakat
menunjukan kurangnya kepedulian pemerintah.
Pemerintah
mencoba menjangkau kelompok tunadaya dan fakir miskin dengan mendorong
perkembangan berbagai lembaga keuangan berkonsep grameen bank seperti Yayasan Para Sahabat, Ukabima, Yayasan Mitra
Usaha, serta berbagai BPR yang diharapkan mampu memandirikan pula panti asuhan
dengan bantuan modal yang diberikan. Sayangnya, karena mayoritas panti asuhan
tersebut berdiri atas prakarsa lembaga keagamaan, maka konsep pembiayaan grameen bank yang masih sarat dengan
riba tidak dianggap sebagai solusi yang tepat. Pada akhirnya, saat para
pengurus panti asuhan dihadapkan pada defisit anggaran, uang pribadi mereka lah
yang terpakai untuk kepentingan ini.
Bentuk
pemberdayaan dari kalangan akademsi pun selama ini dinilai belum mencerminkan
pendidikan yang sustanible atau
berkelanjutan, bentuk pengabdian maupun bhkti sosial kepada masyarakat yang
dilakukan lebih mengarah kepada berbagai upaya pelatihan, bukan pendidikan.
Dalam perspektif pengelolaan SDM, terdapat beberapa poin penting pembeda antara
pelatihan dengan pendidikan. Secara tujuan, pendidikan diarahkan untuk
membentuk managerial skill, dilakukan
dalam jangka waktu dan manfaatnya pun untuk investasi jangka panjang, sedangkan
pelatihan yang selama ini banyak diberikan lebih berorientasi pada pembentukan technical skill dengan skala waktu yang
relatif singkat. (Malayu, 2005)
Pada tahun 2005 lalu pemerintah telah menetakapkan
bahwa tahun tersebut sebagai tahun KUBE (kelompok usaha bersama) Indonesia. Program
ini menggagas pemberdayaan masyarakat
tunadaya melalui pembentukan KUBE anak terlantar, KUBE fakir mikin, KUBE
masyarakat terasing, KUBE penyandang cacat dan KUBE keluarga muda mandiri.
Namun selama 9 tahun berjalannya program
KUBE, terdapat beberapa kendala yang masih perlu dievaluasi diantaranya :
1) Kompleksifitas
keterlibatan stakeholder mulai dari
instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan dan asosiasi
usaha dalam program ini menguras anggaran yang tidak sedikit untuk biaya
operasional. Proyek KUBE ini menyedot dana APBN dengan status sebagai hibah
yang nantinya ditambahkan ke simpanan anggota kelompok KUBE dengan persentase
mencapai 200% dari jumlah simpanan kelompok. Belum lagi dengan biaya penyuluhan
baik itu para penyuluh inskitu maupun eskitu membengkak karena kebutuhan akan
penyuluh yang tinggi untuk diposisikan dalam pembinaan KUBE.
2)
Adanya Indikasi
kebocoran dana pun semakin besar terjadi, terlebih tingkat korupsi aparatur
pemerintah di negara ini sudah seakan menjadi hal lazim, bahkan mendapat
pengakuan dunia internasional dengan predikat sebagai salah satu negara dengan
tingkat korupsi tertinggi.
3)
Gelontoran dana
yang diberikan kepada masyarakat adalah dalam bentuk pinjaman pun masih
bersumber dari Bank konvensional (dalam hal ini Depsos bekerja sama dengan BRI)
yang masih sarat dengan unsur riba. Penyusun menganalogikan hal ini dengan
“menyelesaikan masalah, dengan masalah”, Bagaimana tidak menimbulkan masalah
baru? Cicilan yang harus dibayarkan meskipun ditanggung secara kolektif tetap
memberatkan masyarakat kelas rendah ini, karena ada unsur riba atau tambahan
uang yang harus disetorkan oleh mereka selaku peminjam modal. Dalam islam,
suatu bisnis yang dibangun dengan dana riba akan kehilangan keberkahannya. Hal
ini ecara jelas menentang tujuan ekonomi
yang sedari awal sudah disepakati
yaitu “ekonomi dibangun dengan cara yang memenuhi ketentuan syariah agama”
4)
Persyaratan
adminitratif dan ketentuan bankable
masih berlaku, sehingga menghambat penyaluran dana baik dari segi ketepatan
waktu maupun besaran pinjaman yang diberikan.
5)
Adanya indikasi
kartel tingkat suku bunga yang ditetapkan untuk pembiayaan usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) oleh bank-bank BUMN selaku lembaga keuangan yang dipercaya
pemerintah runtuk menjadi mitra. BI rate yang naik pun menjadi salah satu
alasan mengapa bank tersebut menaikkan tingkat suku bunga pinjamannya.
6)
Meskipun program
nasional ini berbentuk KUBE anak terlantar, KUBE anak jalanan, KUBE Lansia,
KUBE fakir miskin, hingga KUBE keluarga muda mandiri, nyatanya keterjangkauannya
masih rendah. Buktinya saja masih banyak anak-anak terlantar di panti asuhan
yang sama sekali belum tersentuh program ini. Mayoritas panti asuhan bahkan
masih memberatkan kebutuhan finansial dari donatur dan penanggungjawab
organisasi keagamaan pendiri panti asuhan itu sendiri.
7)
Perlu
diperhatikan dalam hal ini bahwa sekarang berkembang “moratorium” pegawai
negeri, ditengah minimnya jumlah penyuluh kompeten yang berada dibawah naungan
operasional pemerintah, jumlah penyuluh
senior yang memasuki masa pensiun lebih besar daripada jumlah penyuluh baru
yang direkut, sehingga kini program penyuluhan tersebut tidak lagi efektif.
8)
Pengdopsian
konsep grameen bank dalam BMT KUBE dianggap belum sesuai syariah, sebagaima
dijelaskan dalam buku Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Effendi, 2009), teknis
pendirian tersebut adalah :
a.
Sosialisasi
konsep KUBE dan BMT kepada masyarakat
b.
Dibentuk kelompok
yang terdiri dari 10 orang warga dengan 1 diantaranya bertindak sebagai ketua
c.
Setelah melakukan
identifikasi keanggotaan oleh pendamping, warga bersepakat membentuk KUBE
dan menjalani Pelatihan Wajib Himpunan
(PWH)
d.
Modal diberikan
dengan susunan 3 3 3 1, ketua yang terakhir mendapatkan. Modal diperoleh dari
investasi pemerintah dan dana yang dialokasikan oleh bank negara, dalam hal ini
BRI, bank konvensional yang menerapkan bunga dalam pengembalian modalnya.
e.
Setelah kegiatan
usaha berjalan selama 6 bulan, barulah para anggota KUBE bersama masyarakat
setempat diarahkan untuk membentuk BMT KUBE yang anggotanya terdiri dari
anggota kube itu sendiri.
f.
Setelah
terbentuk, BMT KUBE menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro
syariah di masyarakat.
Masalah lain terkait
kelemahan teknis dalam keterlibatan peran pemerintah, akademisi, dan pengusaha
dalam teknis pelaksanaan KUBE dapat dirincikan sebagai berikut:
Kebutuhan
pembelajaran
|
Keadaan
sekarang
|
|
Instani
|
Spesifikasi
pelayanan
|
|
Kemampuan teknologi
|
Diperindagkop dan PKM, Depsos,
perguruan tinggi, LSM, disnaker, sek. kejuruan
|
Pelatihan, pembinaan,
pengabdian masyarakat, bimbingan usaha, pelatihan, kursus, magang
|
Pengetahuan permodalan
|
Depsos, diperindagkop dan PKM
|
Pembinaan pelatihan
|
Pengetahuan pemasaran
|
Diperindagkop dan pkm, depsos,
asoiasi usaha
|
Pembinaan organisasi,
pendaftaran, izin, pembinaan niaga, kemitraan, pembinaan koperasi
|
Peningkatan kreativitas
|
Depsos dan pemda
|
Secara khusus belum ada
|
Peningkatan keuletan berusaha
|
-
|
Secara khusus
belum ada
|
Peningkatan keberanian beresiko
|
-
|
Secara khusus
belum ada
|
Peningkatan kewirausahaan
|
-
|
Secara khusus
belum ada
|
Layanan permodalan
|
Perbankan, BUMN
|
Promosi pinjaman terkait proyek
|
Dari
tabel diatas terlihat bahwa keterlibatan stakeholder
atau instansi terkait masih berkutat pada usaha peningkatan pengunaaan
teknologi, pengetahuan permodalan, pemasaran, dan berbagai upaya diklat. Sedangkan
sentuhan aspek sikap dan perilaku berwirausaha belum terperhatikan, padahal
aspek inilah yang menjadi titik awal keberhasilan suatu usaha, karena
menyangkut penguatan mental sebagai seorang entrepreneur.
Dalam
kaitannya dengan kelompok masyarakat tunadaya di panti asuhan yang sampai saat
ini masih mengekor bantuan dana dari lembaga keagamaan, donator, dan sedikit
dari pemerintah, maka dari itu dibutuhkan peran nyata dari seorang wirausahaan
pendidik (edupreneur) yang mampu
memberikan pendidikan dengan ilmu akademisnya, serta mampu mengembangkan jiwa
kewirausahaan, kemampuan manajerial, dan mengembangkan kesadaran akan pentingnya berwirausahaa untuk
membangun kemandirian yang sebenarnya pada diri setiap masyarakat yang tegolong
dalam kelompok tunadaya ini.
4.1.2
Kewirausahaan syariah dalam upaya meningkatkan
kapasitas pribadi dan kolektif kelompok masyarakat tunadaya menjadi Sumber Daya
Insani
Kewirausahaan
syariah yang penyusun gagas dalam konsep pembinaan ini adalah bentuk
pemberdayaan berkelanjutan dengan melibatkan 3 peran sentral dalam pembangunan
ekonomi, yaitu pemerintah (goverment),
pengusaha (bussinessment) dan
akademsi (acedemiciant) yang secara
umum mencakup hal-hal berikut:
1)
Penyediaan akses untuk mengenal kewirausahaan
2) Peningkatan
kapasitas diri melalui pendidikan berkelanjutan yang ditekankan pada simulasi
dan praktek bisnis syariah dengan produk
yang sudah tersedia dari penyuluh (mahasiswa yang sudah memiliki bisnis)
3) Pembinaan manajerial bisnis melalui inkubator
beruba BMT yang memanfaatkan SDM dengan
background aktifis lembaga keagamaan yang selama ini hanya diposisikan sebagai
pengelola panti asuhan saja. Legalitas dan tahapan birokrasi pendirian BMT ini
dibantu oleh pemerintah kota.
Nilai-nilai
kewirausahaann yang diadopsi adalah sebagaimana yang dipraktekan oleh Rasuullah
yaitu melalui formula FASTI sebagai berikut:
1)
Fathonah, cerdas dalam membangun
strategi bisnis dan berdiplomasi/negosiasi sebagai upaya untuk mencapai hasil
maksimal dalam berbisnis.
2)
Amanah, menjaga kepercayaan pihak lain
yang terlibat dalam bisnis, terutama dalam hal ini adalah pihak pemberi modal
dan juga pelanggan.
3)
Shiddiq, jujur dalam melakukan
transaksi, meskipun berorientasi untuk mendapatkan profit, namun profit
tersebut haruslah didapatkan melalui cara-cara yang halal, tidak merugikan
kepentingan pihak manapun.
4)
Tabligh, pada hakikatnya berbisnis pun
memilki nilai ibadah jika diniatkan karena Allah, maka melalui bisnis ini yang scopenya adalah bidang ekonomi,
nilai-nilai ekonomi syariah yang dipraktekan dalam transaksi dihapkan mampu
disampaikan kepada pihak lain.
5)
Istiqomah adalah faktor penting yang perlu
dilakukan, karena tidak semua bisnis akan berjalan dengan mudah dan
pencapaiannya diraih dalam waktu singkat, maka perlu ada keistiqomahan dalam
mengusahakan bisnis di jalan Allah dengan tetap memegang teguh batasan-batasan
sebagaimana diatur dalam ekonomi islam.
Dengan pengembangan edupreneur yang mengidentifikasi permasalahan fundamental yang
terjadi di masyarakat terkait kemandegan kemandirian ekonomi kelompok tundaya
di panti asuhan ini, diharapkan setiap individu mampu mengembangkan kapasitas
dirinya terutama dalam hal-hal berikut ini:
1)
Memperoleh gambaran yang jelas mengenai
konsep kewirausahaan dan mendorong keinginan untuk berwirausaha karena
termotivasi oleh para “syariah extention worker” dari kalangan mahasiswa yang
diberdayakan untuk menjadi pendamping dalam progam ini.
2)
Pemahaman dan keterampilan berwirausaha
terasah dengan berbagai program pelatihan maupun pendidikan dan
simulasi-simulasi bisnis yang diarahkan langsung oleh pendamping
3)
Keuletan, keberanian menghadapi resiko,
dan sikap mental berwirausaha yang selama ini belum mampu dimaksimalkan dalam
setiap program pemberdayaan sebelumnya yang diusung pemerintah, diharapkan
mampu terbangun melalui program I-SIEMENT ini, karenpa sharing bisnis yang disampaikan
berasal dari sumber relevan yang sudah kompeten dalam dunia bisnis, bukan hanya
pendeskripsian teoritis saja.
Sedangkan andil
bagi kolektif, dalam hal ini seluruh elemen panti asuhan adalah sebagai
berikut:
1)
Mengubah paradigma bahwa keberlangsungan
finansial panti asuhan tidak harus selalu bergantung dari donator dan lembaga
keagamaan, namun bisa diusahakan melalui kegiatan kewirausahaan
2)
Waktu luang di panti asuhan dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif dan tidak hanya terbatas pada keigatan
keagamaan aja
3)
Mendorong panti asuhan untuk mandiri dan
memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar
4)
Menciptakan SDI yang kompeten dalam
ekonomi syariah meskipun tanpa melalui proses pendidikan formal
4.2 Sintesis
4.2.1
Implementasi program I-SIEMENT
Pembangunan sektor perekonomian
melalui program I-SIEMENT pada dasarnya mengusung konsep syariah yang sejalan dengan tujuan
tersebut dan sesuai pula dengan jati diri bangsa (pancasila) yaitu pencapaian
kesejahteraan yang nyata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat.
Bentuk dari program ini adalah pendidikan
kewirausahaan yang sinergis dengan melibatkan para entrepreneur muda dari kalangan mahasiswa, setelah ditanamkan
urgensi berwirausaha lalu anak-anak binaan panti asuhan kemudian ditempakan
pada inkubator bisnis dengan produk baik berupa barang ataupun jasa yang
diproduksi para mahasiswa yang bertindak sebagai extention worker (penyuluh sukarela) tersebut dengan sistem komisi.
Sehingga kedua belah pihak baik anak-anak binaan maupun mahasiswa yang terlibat
sama-sama diuntungkan, di satu sisi biaya atau upah penyuluh dapat
diminimalisir, di sisi lain anak-anak binaan ini pun dapat melakukan praktek
kewirausahaan secara langsung memulainya sebagai agen/reseller tanpa perlu terhambat dengan proses produksi barang yang
rumit dan membutuhkan waktu lama.
Untuk menambah kebermanfaatannya,
maka dibentuklah suatu inkubator yang real di panti asuhan tersebut berupa BMT,
sehingga dana yang terhimpun dapat dialokasikan dan digulirkan untuk membantu
usaha masyarkat yang berdomisili di sekitar panti asuhan. Sehingga kedepannya,
panti asuhan tersebut mampu mandiri, tidak lagi dianggap sebagai lembaga sosial
yang dependen, hanya bergantung pada uluran tangan donator.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu
bahwa menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM No.
81.3/Kep/M.KUKM/VIII/2002, inkubator adalah lembaga yang bergerak dalam bidang
penyediaan fasilitas dan pengembangan usaha, baik manajemen maupun teknologi
bagi Usaha Kecil dan Menengah untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan
usahanya dan atau pengembangan produk baru agar dapat berkembang menjadi
wirausaha yang tangguh dan atau produk baru yang berdaya saing dalam jangka
waktu tertentu
Kenyataan bahwa 99% panti asuhan berdiri
dibawah naungan lembaga keagamaan dengan pengurus atau pengelola panti asuhan
pun direkrut dari lembaga yang sama justru memberikan peluang tersendiri.
Dengan dasar syariah yang sudah cukup kuat, SDM yang ada tersebut dapat diberi
pendidikan dengan lebih mudah mengenai teknis pelaksanaan BMT di lingkungan
panti asuhan. Sehingga para pengelola pun diarahkan untuk lebih produktif,
selain bertugas sebagai pengelola panti asuhan, kedepan mereka pun diarahkan
sebagai pengelola BMT yang cakupannya sampai kepada masyarakat sekitar.
Guna mencapai
keberhasilan program I-SIEMENT ini, salah satu indikator yang harus dipenuhi
adalah pengintegrasian tiga unsur yang dominan dalam mempengaruhi perkembangan
suatu negara, yaitu akademisi (academician),
pengusaha (bussinessment), dan
pemerintah (government). Setiap unsur
bergerak secara terintegrasi sesuai dengan tugas dan fungsinya (tupoksi) masing
masing.
Gambar 4.2.1 Skema Integreted
Syariah Edupreneurship Empowerment
![]() |
|||
![]() |
Pemerintah pusat dan DEPSOS
1.
Koordinasi dengan MES
2.
Alokasi APBN
3.
Reward dan Kontrol
|

Pengusaha
:
1.
Investasi
2.
CSR
|

Sumber
dana
|

|
||||||||||||
|
||||||||||||
![]() |
||||||||||||
![]() |
||||||||||||
![]() |
||||||||||||
![]() |
Pemerintah kota/daerah:
1.
Pendirian BMT
2.
Penghimpunan mitra usaha
3.
Placement extention worker
|


Akademisi
:
1.
Sharing product
2.
Good Entrepreneur Practice
|


PANTI ASUHAN
|


MES
1. Syariah Extention Worker |

BMT
|


QUALITY
SERVICE
|

QUALITY
RESOURCE
|

QUALITY
PRODUCT
|

Kontribusi
ke masyarakat
|

A. Teknik Implementasi Roundmap I-SIEMENT
Berdasarkan model
di atas, tahapan-tahapan implementasinya yaitu:
Pemerintah Pusat:
a. Ditetapkannya
suatu political will untuk penerapan
program I-SIEMENT
b. Pemerintah
mengadakan koordinasi dengan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) untuk
mengalokasikan SDI yang nantinya akan ditempatkan sebagai penyuluh (syariah extention worker) dalam
manajemen syariah yang diterapkan di BMT bentukan pemerintah daerah di
panti-panti asuhan, sehingga baik di tingkat provinsi maupun kota, terdapat
koordinasi antar MES. Serta mengadakan koordinasi dengan pengusaha untuk
bersedia menjalin kerja sama materil
guna menghimpun sumber dana yang akan dialokasikan bagi pemberdayaan petani.
c. Sosialisasi
program ke pemerintah kota dan daerah.
d. Mengadakan
pengontrolan dan program reward
sebagai bentuk apresiasi bagi panti asuhan yang sudah mampu mandiri.
Pemerintah
Daerah:
a. Mendirikan
atau memberdayakan kembali BMT yang sebelumnya sudah ada di masyarakat,
menyeleksi tenaga pembimbing professional untuk membantu proses pendidikan
calon penguru BMT di panti asuhan.
b. Membantu
proses legalisasi dan serangkaian birokrasi yang perlu dilakukan untuk
melakukan pendirian BMT
c. Menghimpun
mitra usaha yang mampu mempeluas jangkauan produk hasil olah BMT dan pendamping
program.
d. Menghimpun
dan melakukan penempatan guna mengintegrasi extention
worker dari MES untuk membina BMT serta extention
worker dari kalangan akademisi untuk anak-anak panti asuhan.
e. Melaporkan
perkembangan kegiatan kepada pemerintah pusat.
Pengusaha:
a. Menginvestasikan
sejumlah dana untuk pembiayaan di BMT
b. Sharing market network
dengan para entrepreneur muda yang
juga menjadi extention worker dari
kalangan mahasiswa, sehingga baik mahasiswa maupun anak-anak binaan di panti
asuhan terpacu kreativitasnya untuk menciptakan produk berdaya saing tinggi.
c. Menghimpun
produk terpilih yang untuk kemudian dibantu proses marketingnya.
d.
Melakukan CSR dalam bentuk bantuan
materil atau non materil lainnya dalm mendorong peningkatan keterampilan
bisnis.
Akademisi
:
a. Melakukan
pembinaan dalam bentuk transfer ilmu dan keterampilan berwirausaha dengan
menghimpun mahasiswa-mahasiswa pilihan dari UKM bisnis seperti HIPMI, UKM
ekonomi islam, himpunan mahasiswa untuk membantu pemberdayaan kelompok tunadaya
di panti asuhan.
b. Transfer teknologi dalam manajemen bisnis
mikro
c. Membangun
kemitraan dengan anak-anak binaan di panti asuhan dengan cara melibatkan mereka
dalam proses marketing produk yang menjadi komoditi bisnis para mahasiswa.
BMT Panti Asuhan
:
a. Mengimplementasikan
hasil pembinaan dan mensosialisasikan program BMT kepada jajaran lembaga
keagamaan yang menaunginya serta pada
masyarkat sekitar sehingga kemungkinan modal yang terkumpul lebih besar.
b. Memberdayakan
BMT sebagai sarana inkubator bisnis dengan menjalankan prinsip Simpanan Mudharabah yaitu anggota dapat
menyimpan dananya dengan akad mudharabah mutlaqah dimana BMT diberi
kekuasaaan penuh mengelola dana dimaksud. Keuntungan dari pengelolaan dana ini
dibagi hasilkan dengan anggota.
c. Merancang
sistem asuransi syariah yang baik bagi anggota terutama anak-anak binaan untuk
mengantisipasi resiko yang mungkin dialami oleh mereka ketika sudah tidak lagi
dibina di panti asuhan (bersifat sukarela)
d. Menghimpun
produk bisnis dari anggota yang kemudian diaporkan kepada pemerintah daerah
untuk disalurkan pada market network
yang disediakan mitra usaha.
e. Membuat
laporan yang dipertanggungjawabkan kepada pemerintah daerah dan investor.
BMT
yang sudah mapan :
Membantu
pelatihan kemampuan manajemen bagi calon pengurus BMT di panti asuhan, metode
yang bisa dipilih antara lain pelatihan langsung sebagaimana dilakukan oleh MES
ataupun sistem megang dan transfer pengurus sementara.
Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES)
Mengkoordinasikan
program hingga ke MES tingkat kota sehingga dapat dialokasikan kebutuhan tenaga
pendamping untuk program I-SIEMENT tersebut.
B. Model Luaran
a.
Kelompok masyarakat tunadaya yaitu
anak-anak binaan di panti asuhan memiliki jiwa berwirausaha syariah yang benar
sesuai aturan agama.
b.
Menciptakan keseimbangan antara kemampuan
intelektual dengan keterampilan berwirausaha sebagai langkah antisipasi
minimnya lapangan kerja yang tersedia.
c.
Mengembangkan pola pengasuhan interaktif
di panti asuhan yang tidak terbatas pada kegiatan spiritual saja sehingga
secara efektif mampu menciptakan sumber daya insani yang siap terjun
kemasyarakat ketika masa pembinaan mereka di panti asuhan sudah berakhir.
d.
Menegaskan keberadaan panti asuhan
sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mandiri, tidak lagi menjadi beban yang
bergantung pada uluran tangan donator.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1.
Keterlibatan andil pemerintah dalam
mengelola anak-anak terlantar yang tunadaya di panti asuhan masih sangat
rendah, dengan tingkat partisipasi hanya 1:99 dibandingkan dengan peran
organisasi keagamaan dan masyarakat umum. Dalam menanggapi tantangan ekonomi
syariah yang sedang digandrungi di negeri ini pun, kelompok masyarakat tunadaya
ini belum mendapat perhatian serius terkait pengembangan potensi di bidang
pendidikan dan kewirausahaan yang sebenarnya sangat mereka butuhkan guna
membangun kemandirian dan menghilangkan anggapan bahwa selama ini keberadaan
mereka hanya menjadi beban di dalam masyarakat.
2.
Program pemberdayaan yang dilakukan
pemerintah melalui KUBE sudah cukup efektif namun tetap belum mampu menjangkau
masyarakat tunadaya sebagaimana yang terdapat di panti asuhan secara optimal,
hal ini diindikasikan karena fokus perhatian masih tertuju pada pengembangan
usaha mikro bagi masyarakat, bukan pemberdayaan ekonomi bagi anak-anak
terlantar dan tunadaya di lembaga swadaya masyarakat termasuk panti asuhan.
3.
Peran stakeholder diluar pemerintah masih belum terintegrasi sehingga
dalam upaya pemberdayaan kelompok tunadaya pun hanya bergerak masing-masing.
Kurangnya penyuluh kompeten dari segi kualitas dan kuantitas serta masih
terdapatnya unsur ribawi menjadi penghambat tersendiri.
4.
Program Integreted Syariah Edupreneur Empowerment
(I-SIEMENT) aadalah solusi tepat mengingat konsep integrasi yang melibatkan 3
elemen yaitu pemerintah, swasta dan akademisi dapat menjawab keterbatasan SDI
dan sumber daya modal yang dimiliki pemerintah dalam memberdayakan kelompok
masyrakat tunadaya, khusunya bagi mereka yang tinggal di panti asuhan sehingga
keberadaan mereka tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat, dengan bekal
kemandirian yang terbentuk, justru keberadaan mereka memberikan kontribusi
dalam mengembangkan perekenomian masyarkat.
5.2 Saran
1.
Meningkatkan produktivitas dan kemandirian
ekonomi rakyat harus dimulai dengan pembinaan serius di lini bawah secara rill,
bukan lagi dengan penetapan kebijakan yang praktis dan parsial dari lini atas.
2.
Kompetensi sumber daya insani harus
benar-benar digarap dengan tanpa menegasikan potensi dari kelompok maysarakat
tunadaya yang selama ini dianggap menjadi beban, karena sebenarnya kaum pemuda
dip anti asuhan pun memilki potensi besar jika dibina dengan baik.
Integrasi antar pemerintah, swasta dan akademisi
harus terus ditingkatkan sehingga peran nyata yang aktif dapat diraskan oleh
masyarakat luas