Rabu, 11 Desember 2013

KURIKULUM 2013 BUKAN SEBAGAI INOVASI PEMBELAJARAN NAMUN SEBAGAI RE-INVETION?

Kurikulum 2013 terkenal dengan konsep tematik, pendidikan karakter dan keterampilannya. Dalam buku karangan RA Kartini yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Ia menyatakan sangat terkagum-kagum kepada seorang gadis Sunda yang sekarang namanya mungkin tidak se-terkenal RA Kartini. Gadis Sunda itu menerapkan Pendidikan Berkarakter yang mungkin sekarang digadang-gadang dalam kurikum 2013.

Yups, pada tahun 1904 atau 109 tahun yang lalu sekitar kurang lebih 5 generasi dari sekarang. Dengan nama sekolah ""KAUTAMAAN ISTRI". Beliau menamakan kurikulum tersebut dengan "ISTRI UTAMA". Dengan tiga tema pembelajaran yaitu sebagai berikut:
  1. Perempuan budiman yang berkaitan dengan sisi character. Dimana para perempuan harus pintar me-manajemen waktu ataupun uang.
  2. Terampil, dalam istilah Sunda dikenal sebagai : "PARIGEL-SINGER-RANCAGE". Hal tersebut diimplementasikan ke dalam muatan lokal. Misalnya: bagaimana membuat bumbu lotek? dan bagaimana caranya agar lotek menjadi enak?
  3. Pintar, dengan menggunakan pendekatan tematik. Misalnya pembelajaran "CALISTUNG" yang harus menggunakan 3 bahasa yaitu Bagasa Sunda, Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya bahasa ibu dalam mengeksplor ilmu pengetahuan.
Dalam hasil inovasinya pun dikenal dengan nama LCBT, mungkin saat ini kita mengenal hal tersebut sebagai "Lateral Computer Based Tutorial" atau bisa disebut juga sebagai "Berpikir Meloncat Menggunakan Komputer". Namun pada tahun 1904 LCBT merupakan "Learning, Cognitive, Behavior, Theraphy" atau disebut dengan "BELAJAR MENGGANTI PERILAKU DENGAN CERDAS". Maka dari hal ini dapat dikemukakan bahwa pandangan ESQ pun lahir dari hal ini. Karena dari segi konsep yang sangat mirip.

Karena keberhasilan kurikulum tersebut, akhirmya pada tahun 1912, kurikulum 1904 diterapkan di berbagai sekolah di Padang yaitu "Enci Rahma".

Setelah membaca hal di atas, apakah kurikulum 2013 masih dianggap sebuah inovasi? Atau jika Malaysia sebagai pencetus kurikulum tematik, kita sebagai orang Indonesia harus mengangguk-angguk saja? Lantas siapa disini yang dibodohi? Mengapa kita mengalami kegagalan dalam mengembangkan kurikulum? Jawabannya hanya satu yaitu dari kebiasaan orang tersebut.

Sumber : Dosen Kurikulum dan Pembelajaran UPI Bandung dan buku-buku terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar